Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual

 

Oleh :

Muharman, S.Pt, M.Sos

(ASN Pemko Pariaman dan Relawan Yayasan Ruang Anak Dunia)

 

Penghujung tahun kita dikejutkan dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi diseluruh wilayah di Indonesia. Ada oknum dosen yang diduga melakukan pelecehan seksual, ada oknum garin mesjid yang melakukan sodomi dan ada kakek yang memperkosa cucu sendiri. Dalam waktu singkat kasus ini langsung viral. Hal ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari seluruh elemen masyarakat. Apalagi justru kasus-kasus terus bermunculan ditengah segelintir pihak masih mempertentangkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah dan menangani korban tindak kekerasan seksual ini.

Terbaru adalah kasus kekerasan seksual yang dialami kakak beradik berusia belia yang diduga dilakukan setidaknya lima orang pelaku dari kalangan keluarga sendiri, mulai dari kakek, paman, kakak dan lain sebagainya. Justru seharusnya mereka inilah yang sepaptutnya menjadi garda ter depan dalam melindungi anak. Fenomena ini membuktikan bahwa kekerasan memang dekat sekali dengan anak-anak kita.

Dalam konteks ini, kasus dipenghujung tahun ini tentu terasa makin pelik ditangani karena informasi yang beredar disinyalir sang ibu dari anak korban kekerasan, menolak memberikan keterangan disebabkan tidak ingin kasus ini diperkarakan. Hal ini lagi-lagi membuktikan bahwa perkara kasus kekerasan terhadap anak, dimana pelakunya adalah kalangan keluarga sendiri cenderung disembunyikan dan atau bahkan dibeberapa tempat diselesaikan secara kekeluargaan. Terhadap situasi ini tentu saja dapat disimpulkan kemungkinan bahwa kekerasan seksual terhadap anak ini jauh hari sudah dikethaui oleh anggota keluarga, akan tetapi cenderung didiamkan. Beruntung masyarakat sekitar mulai peduli dengan kekerasan seksual lalu mengambil inisiatif melaporkan kepada pihak yang berwajib. Agaknya pihak kepolisian tidak akan terlalu lama bekerja dalam mengungkap kekejaman ini, karena semua sudah terang terbuka dan bahkan media telah memproklamirkan diri untuk terus mengawal penanganan perkara hukumnya.

Jika penanangan hukum kasus kekerasan seksual dapat diselesaikan dengan cepat, apalagi yang memiliki atensi tinggi dari masyarakat. Tidak begitu halnya dengan penanganan psikologis dan reintegrasi sosial. Perkara bagaimana menghilangkan situasi traumatis apalagi menggembalikan kepercayaan diri, tidak hanya persoalan pendampingan sehari dua hari, tetapi tahunan bahkan mungkin saja seumur hidupnya. Hal ini tentu saja sangat beralasan karena proses pulih secara psikologis membutuhkan kesabaran ekstra karena hasrus melalui berbagai tahapan. Oleh karena itu para pihak yang terlibat dalam pendampingan korban harus segera memutuskan langkah-langkah strategis dalam penanganan jangka panjang bagi korban. Paling tidak ada beberapa hal yang harus segera dilakukan.

Pertama, dalam koteks kasus yang pelakunya anggota keluarga sendiri lalu ditambah dengan bungkamnya sang Ibu untuk memberikan keterangan, maka sudah dipastikan dibutuhkan segera penempatan anak pada pengasuhan alternatif, karena dari sini dapat dilihat bahwa keluarga inti telah gagal memainkan perannya memberikan perlindungan terhadap anak, yang notabene adalah anggota keluarga terlemah dalam relasi di keluarga. Pengasuhan alternatif bisa diputuskan diberikan kepada kerabat jauh korban setelah dilakukan penilaian keamanannnya. Aspek terpenting yang harus dilihat adalah apakah kerabat tersebut mendukung upaya pemulihan dan pro dengan kepentingan korban. Jika tidak ditemukan kerabat yang pantas memainkan peran tersebut maka pengasuhan alternatif bisa dilakukan dengan penempatan anak di lembaga kesejahteraan sosial khusus anak terakreditasi. Jikapun hal ini tidak ada, maka terakhir pengasuhan bisa dilakukan oleh keluarga pengganti dari kalangan masyarakat dengan tetap dibawah pengendalian tim ahli penanganan kasus. Memang, pengasuhan alternatif sesungguhnya bukanlah sebuah hal yang mudah bagi anak. Memindahkan anak ke lingkungan sosial yang baru sedikit banyak membutuhkan upaya penyesuaian secara psikologis bagi anak, makanya pengasuhan alternatif terutama pada lembaga-lembaga pengasuhan dan keluarga pengganti menjadi alternatif terakhir jika tidak ditemukan kerabat hingga derajat ketiga pengasuhan. Tetapi kemungkinan ini harus tetap dibuka agar secepat mungkin anak bisa kembali beraktifitas normal, dimana hal ini penting bagi anak untuk mempercepat proses pemulihan traumatiknya.

Kedua, tim penanganan kasus harus segera melakukan identifikasi seluruh kebutuhan hak anak korban yang mungkin selama ini belum terpenuhi oleh keluarga. Apa saja hak anak tersebut, setidaknya dapat dilihat dari indikator pemenuhan hak anak Kota Layak Anak. Pastikan bahwa anak memiliki identitas diri, pastikan anak mendapatkan hak pendidikan, pastikan anak mendapatkan derajat kesehatan maksimal, pastikan anak dapat bermain dan berekreasi, pastikan anak mendapatkan pemenuhan gizi yang baik dan lain sebagainya. Untuk ini cukup dengan mengantongi selembar surat instruksi dari kepala daerah agar seluruh organisasi perangkat daerah segera merespon pemenuhan dasar esensial korban.

Ketiga, menjaga sedemikian rapat identitas anak korban kekerasan seksual, menghimbau seluruh yang terlibat tidak melakukan postingan foto dokumentasi korban di sosial media (walaupun sudah dengan penyamaran wajah). Penjagaan identitas anak ini juga dibutuhkan agar jangan sampai ada pihak-pihak yang melakukan profiling korban, lalu meninggalkan jejak digitalnya. Ingat, pemulihan korban memang tidak akan mudah dan sepanjang hidupnya. Jejak digital sangat gampang ditelusuri dan semestinya kita berharap agar jangan perasaan traumatis kembali hadir saat anak sudah menginjak remaja nantinya. Media diharapkan melakukan pengawalan substantif terutama proses hukum. Jika aspek penanganan hukumnya sudah jelas, maka dirasakan cukup. Apa dan bagaimana perkembangan penanganan korban, percayakan saja kepada tim yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.