Ragam  

Wartawan Kita

Ilham Bintang dalam diskusi forum pemred. Ist

Itu cukup menjelaskan mengapa banyak berita isinya hanya menyiarkan fakta orang bicara dibandingkan fakta peristiwa. “ Talking news, istilah sekarang.

Pernah di sebuah stasiun televisi ada sebuah peristiwa dibahas berhari-hari dengan hanya menyajikan fakta orang bicara, bertengkar, saling menuding, namun sampai berita itu selesai, tidak jelas bagi pemirsa apa duduk perkaranya. Saya khawatir wartawannya sendiri pun tidak menguasai duduk perkara yang dibahasnya.

Yang sering diberitakan akhir-akhir ini adalah laporan masyarakat kepada polisi. Kasusnya macam- macam, mulai dari dugaan perselingkuhan, ujaran kebencian, sampai urusan dugaan penistaan agama. Padahal, wartawan tahu, polisi sekarang memang wajib menerima laporan apa saja , darimana saja, kapan saja, dan laporan kepada siapa saja. Namun laporan kepada polisi faktanya baru sebatas laporan. Namun sudah ramai diberitakan sebelum diverifikasi sendiri oleh polisi apakah laporan cukup layak, didukung bukti-bukti material yang kuat. Makanya sering pula pemberitaan menimbulkan kegaduhan di masyarakat sebelum jelas duduk perkaranya.

Saya ulang kembali pengutipan pasal 3 KEJ : “ Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Dasar pertama sebuah berita adalah fakta. Tetapi wartawan yang baik tahu tidak semua fakta dapat diberitakan. Bagaimana mengetahui batasan sebuah fakta tidak layak diberitakan? Tanya seorang kawan. Kode etik menyandarkan kepada hati nurnani wartawan. Namun, kita bisa menyederhanakan dengan melokalisir pada persoalan yang bermuatan SARA. Negeri kita diberi berkah oleh Tuhan memiliki banyak suku, ras dan agama. Tetapi fitrah itu juga rentan. Ibarat korek api, satu batu batangnya yang tersulut bisa membakar satu korek api itu.

Kegamangan wartawan juga dapat kita lihat saat memberitakan kasus asusila dan kasus anak- anak yang melibatkan anak-anak di bawah umur.

“ Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” ( Pasal 5 KEJ).

Lihatlah pada kasus Manohara dan Abul Qadir Jaelani yang merebak dan menjadi trending topic di media beberapa bulan.

Pada awalnya semua wartawan berempati lantaran Manohara perempuan di bawah umur mengalami pelecehan seksual oleh suaminya. Kita “ perjanjikan bersama” dia sebagai korban. Namun, kita tak kuasa menahan diri saat memberitakannya. Bukan hanya identitas, tetapi dada wanita muda yang disayat-sayat oleh suaminya kita pertontonkan habis kepada publik siang malam.

Begitu pula halnya ketika bocah AQJ mendapat musibah mengalami kecelakaan yang merenggut banyak jiwa. Kita memang menyingkat namanya menjadi AQJ, tetapi tanpa sadar kita membuka habis identitasnya. Bukan hanya menyebut nama orang tua dan rumahnya, bahkan sampai kita masuk dalam ruang perawatannya di rumah sakit dan menyiarkannya.

Saya mengusulkan dalam forum komunitas Pemred ini untuk membuat pedoman penulisan di bidang- bidang yang kerap memperangkap wartawan melanggar kode etik. Pedoman semacam itu pernah dibuat oleh PWI pada program Karya Latihan Wartawan ( KLW) yang dipimpin wartawan senior Rosihan Anwar. Ada banyak pedoman penulisan berita berbagai bidang liputan pers yang lahir di masa tahun 70 an itu.