Ragam  

Wartawan Kita

Ilham Bintang dalam diskusi forum pemred. Ist

Memang betul, tidak semua kasus yang menyalahi asas kepatutan bisa diidentifikasi sebagai pelanggaran etik, dan juga pelanggaran hukum sekaligus. Pelanggaran kode etik pun belum tentu melanggar hukum. Atau melanggar hukum tidaklah dengan sendirinya melanggar kode etik.

Kita memiliki contoh kasus media yang sangat bagus yang terkait dengan pelanggaran hukum tetapi justru oleh karena kepatuhannya mentaati kode etik. Kasus itu terjadi pada tahun 1968 — hanya beberapa waktu saja setelah Orde Baru berkuasa untuk mengoreksi penyimpangan rezim pemerintah Orde Lama. Kasus itu menyebabkan Majalah Sastra ditutup dan pemimpinnya HB Jassin diseret ke penjara dengan tuduhan menghina Islam dan Tuhan. HB Jassin dihukum karena bersikukuh tak mau menyebut penulis cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Ki Panjikusmin.

Langit Makin Mendung dimuat pada tanggal 8 Agustus 1968 di Majalah Sastra. Polemik keras yang timbul setelah pemuatan cerpen itu tidak hanya melibatkan para sastrawan tetapi juga melibatkan pelbagai unsur masyarakat. Akhir kasus itu, Majalah Sastra diberangus, dan HB Jassin dihukum penjara satu tahun.

Sampai sekarang pun, 51 tahun setelah peristiwa itu berlalu nama Ki Panjikusmin, pengarang cerita pendek Langit Makin Mendung, masih menyisakan misteri. Hingga HB Jassin sampai tutup usia nama itu tak pernah terang. Ada dua pendapat yang sempat beredar. Pendapat pertama, Kipandjikusmin adalah nama samaran HB Jassin sendiri, maka itu dia tak mau buka mulut ketika dia diadili di pengadilan.

Pendapat kedua, Ki Panjikusmin adalah nama pena seorang sastrawan pemula yang saat cerpen tersebut dilarang, pengarang tersebut berdiam di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan Islam. Banyak yang setuju pada pendapat kedua ini.

Sikap HB Jassin ini sepenuhnya tunduk pada pasal kode etik jurnalistik yang mengatur mengenai kewajiban melindungi sumber berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 7 KEJ : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “ off the record” sesuai dengan kesepakatan”

Urusan nara sumber ini memang sangat utama bagi wartawan. Wartawan diminta untuk memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita. Kewajiban ini diatur dalam pasal 11 KEJ PWI. Dalam Pasal 3 KEJ Dewan Pers, ditulis : “ Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Coba luangkan waktu beberapa jenak. Buka gadget Anda. Akses beberapa link media on line. Niscaya dengan mudah bisa ditemukan berbagai sumber berita yang tidak kompeten. Biasanya sumber cukup ditulis, viral di media sosial. Masih lumayan kalau wartawan kemudian mengkonfirmasi peristiwa itu pada sumber terkait. Yang banyak terjadi, media melepaskan saja berita itu turun, dan menganggap informasi di media sosial adalah fakta tanpa perlu diverifikasi lagi.

Baru beberapa hari lalu saya membaca berita yang meliput video yang diklaim viral di medsos. Peristiwa itu genting. Namun, wartawan dengan ringan menyebut, sampai berita diturunkan belum jelas kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.

Memang benar, wartawan bebas menerima informasi darimana pun datangnya. Hatta, dari hantu blau sekalipun. Namun, secara bersamaan wartawan juga diberi kehormatan oleh UU dan kode etiknya untuk bersikap meragukan informasi dari mana pun datangnya, kecuali dari Tuhan dan Nabi. Prinsip utama di sini adalah melakukan verifikasi, cek dan ricek sebelum berita dipublish.

Prinsip cek dan ricek memang tidak sederhana dalam pelaksanaannya. Pada banyak karya jurnalistik prinsip itu dipraktekkan secara sedehana, standar minimun. Paling banyak hanya meminta tanggapan pihak terkait atas tuduhan satu sumber berita. Padahal yang benar adalah terlebih dahulu meneliti kebenaran materi yang dituduhkan sumber pertama.