Bayangkan jika setiap pulang ke kampung atau nagari asal anda menemukan rumah-rumah yang masih dihuni segelintir anggota keluarga halamannya digenangi lumpur sedikit bercampur limbah.
Pastilah dengan susah payah kita menyembunyikan rasa tidak nyaman melihatnya, apalagi ketika harus keluar masuk beberapa rumah di kampung kita tersebut.
Bersamaan dengan itu, pasti terbersit harapan jika pulang kampung lagi, halaman rumah-rumah berlumur lumpur dan sedikit bercampur limbah ini tidak ada lagi.
Alhamdulillah, lingkungan fisik permukaan tanah di halaman rumah seperti yang saya gambarkan di atas tidak pernah saya temukan di Ranah Minang.
Ranah Minang dianugerahi Tuhan dengan kontur tanah seperti surga dunia.
Tanahnya padat, sebagian bercampur pasir, kemiringan rata-rata permukakaan tanahnya bagus untuk mengalirkan air yang turun dari langit maupun yang mengalir dari bukit-bukit.
Disamping itu, kepedulian tiap rumah tangga untuk menjaga standar minimal kebersihan lingkungan di dalam pekarangan rumah cukup baik, kecuali kepedulian akan pembuangan sampah ke sungai dan ke pinggir jalan.
Untuk yang terakhir ini, Ranah Minang masih butuh munculnya kesadaran kolektif sebagian besar warganya.
Namun, saya ingin menggunakan ilustrasi kampung dengan pekarangan sebagian rumah-rumah berlumur lumpur tadi untuk Ranah Minang saat ini sebagai sebuah lingkungan sosial.
Lingkungan sosial artinya sebuah wilayah interaksi dimana konten percakapan dan tingkah laku masyarakatnya menunjukkan pola konstruksi tertentu.
Untuk beberapa hal, Ranah Minang tentu masih bisa kita banggakan sebagai lingkungan sosial yang kaya dengan warisan budaya dan tradisi yang menjaga perilaku-perilaku baik warga.
Namun, untuk hal-hal lain, degradasi budaya leluhur dalam menjaga kenyamanan hidup bersama dan hubungan dengan kelompok lain juga tengah terasa.