Opini  

Fenomena Ranah Berlumur Rumor

Oleh : Andrinof A. Chaniago - Perantau Minang di Jakarta

Begitu juga dalam hal pendidikan, lingkungan sosial Ranah Minang mulai tidak masuk hitungan dalam prestasi minat baca warga dan anak-anak.

Jika dua dekade lalu tingkat minat baca warga Ranah Minang (baca: Sumbar) bersaing di tingkat atas dengan DIY Yojakarta, kini posisi Sumbar masuk 10 besar pun tidak.

Dalam hal penyakit sosial, media-media lokal sendiri sering menginfokan perilaku pelanggaran norma kesusilaan maupun tindakan kekerasan sewenang-wenang yang terjadi di masyarakat.

Lebaran ini, seminggu sesudah Lebaran, aparat penertiban menemukan lima pasangan tidak sah “ngamar” di sebuah homestay di Kota Padang.

Pemandangan yang mengejutkan, usai dipergok, kelima perempuan yang “ngamar” dengan pasangannya itu berkerudung.

Dua minggu sebelumnya, muncul berita yang viral di medsos, dua perempuan pekerja tempat hiburan di Pesisir Selatan digiring ramai-ramai, dilucuti pakaiannya dan dilempar ke laut.

Penyakit sosial jelas bukan hanya perbuatan asusila, LGBT, narkoba dan judi, tetapi juga premanisme, pemalakan, tindakan penghakiman massa, perbuatan aji mumpung terhadap orang yang sedang terdesak membutuhkan sesuatu, budaya meneriaki orang dengan cemoohan, dan sebagainya.

Intinya, semua ucapan dan tindakan yang membuat kenyamanan orang lain terganggu adalah bagian dari penyakit sosial.

Satu lagi penyakit sosial yang relatif ringan tetapi sumber dari penyakit sosial yang lebih buruk adalah budaya rumor atau mengumbar cerita hal-hal yang tidak jelas kebenarannya.

Ketika perbuatan rumor digerakkan secara seirama oleh pembuat rumor, penyampai rumor dan pendengar rumor yang kemudian juga bertindak sebagai penerus rumor, maka perilaku ini telah menjadi penyakit sosial.

Tinggal kualitas penyakit sosial ini tergantung pada konten yang dirumorkan. Dan ketika rumor itu menyudutkan atau menista seseorang, maka rumor tadi otomatis naik kelas menjadi konten fitnah.