Padang  

Akar Sejarah Nama Terminal Goan Hoat Di Padang.

Oleh : M.Khudri

Goan Hoat adalah nama terminal oplet, sekaligus jadi nama pasar disekitar terminal kota Padang. Kini nama itu tak disebut sebut lagi, karena terminal dan pasar itu sudah dihancurkan, diatasnya dibangun swalayan Pasar Raya.

Nama Goan Hoat itu adalah nama seorang kapiten Tiong Hoa di Padang. Kapitan Goan Hoat yang pernah berkuasa di Padang menjadi pemegang hak pungut pajak di kota Padang pada penghujung abad ke 19 atau 1890 an. Kapiten adalah jabatan dan Letnan adalah pangkat yang diberikan oleh kolonial Belanda untuk mengatur warga Hindia Belanda keturunan Cina. Untuk mengatur warga Pribumi Minangkabau, Belanda mengangkat pula seorang penghulu dengan jabatan Regent, dengan panggilan Angku Regent.

Orang orang Cina pendatang, mereka lebih suka disebut Tiong Hoa, di Padang di zaman kolonial Belanda berprofesi sebagai pedagang.

Walaupun tak ada bukti tertulis kapan dan siapa orang Tiong Hoa pertama mendiami kota Padang, namun peneliti memperkirakan Padang sudah didiami oleh orang orang Cina ketika Belanda mendirikan cabang Verenigde Indische Company (VOC) yang dibentuk di Betawi tahun 1602. Setidaknya itu lah pendapat Antropolog Belanda Fredericus Colombijn.
Sedangkan sejarawan Mardanas Safwan, dalam Sejarah Kota Padang, menuliskan bahwa masyarakat Tionghoa sudah bermukim di Padang secara turun temurun sebanyak delapan generasi.

Kedatangan etnis Tionghoa ke Minangkabau diperkirakan melalui pantai barat Sumatra. Christine Dobbin (1980) menyimpulkan nenek moyang etnis Tionghoa yang kini bermukim di Padang awalnya bermigrasi dari Pariaman dan sebagian lainnya dari tanah Jawa pada era 1630-an. Pariaman adalah salah satu pelabuhan dagang terbesar di Pantai Barat Sumatera setelah Sibolga. Dobbin menyebut kapal-kapal dagang saudagar Tionghoa bersandar di Pariaman sejak awal abad 17.

“Kapal-kapal dagang etnis Tionghoa merapat di Pariaman termasuk dari agen dagang mereka di Banten untuk mencari rempah dan garam. Mereka dilaporkan sudah membangun usaha di Pariaman sejak 1633,” tulis Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847.

Demikianlah kemudian orang Tiong Hoa menjadi warga pendatang di Padang berkembang dan berketurunan. Mereka bermukim secara berkelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau. Secara ekonomi mereka lebih kuat daripada rata rata penduduk pribumi sehingga mereka mampu membeli tanah dari penguasa lokal yang bergelar “panglima raja”. Pada 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang “Letnan Cina” diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.
Sebagai bangsa pedagang, orang orang Tiong Hoa yang masuk Padang tentu saja berprofesi sebagai pedagang. Kehadiran Belanda dengan VOCnya memberikan peluang bagi mereka mengembangkan usaha dagangnya. Dengan modal kejujuran dan kerja keras, serta jaringan regional dan internasional, pedagang Tionghoa di Pedagang pedagang terkemuka bahkan dapat menjadi agen bagi perniagaan barang-barang impor dan eksport seperti hasil alam, tekstil, alat alat bangunan, keramik porselen dan alat teknologi. Orang Minangkabau yang juga pedagang menjadi termotivasi bahkan bersaing tapi banyak pedagang Minangkabau bergantung ke pedagang Tionghoa dan sebagian lainnya menjadi mitra dagang.

Cristine Dingin menulis, pada 1829 ada empat orang pialang Tionghoa Padang yang terkenal, yaitu Lie Heng (atau Lie Gieng), Lie Ma-ch’ao (Lie Matjiaw), Lie Sing, dan Hu A-chiao (Hoi Atjouw). Robin juga mengungkap pada 1833 ada sekitar 700 orang Tionghoa di Padang, kebanyakan mereka adalah “orang kaya”.

Kemunculan pelaku pelaku ekonomi terkemuka dari kalangan Tionghoa ini mencapai puncak kejayaan jelang abad ke 19 adalah dimasa Goan Hoat. Goan Hoat bukanlah, pejabat keamanan pertama yang diangkat Kolonial Belanda sebagai kaki tangan. Sebelumnya sudah ada kapiten kapiten diantaranya pada 1785, ada kapiten Lau Ch’uan-ko memegang hak memungut pajak di Padang, kemudian Lie Say pindah ke Padang dari Kayutanam dan diangkat menjadi Kapitan Cina pada 1860.
Goan Hoat, adalah kapiten Tionghoa yang dianggap paling berperan di kota Padang yang ketika itu berpenduduk sebanyak 26.000 orang sebanyak 3000 orang diantaranya etnis Tionghoa. Terkenalnya Goan Hoat selain karena dia pedagang kaya yang punya jiwa sosial tinggi , Goan Hoat merupakan tokoh yang berhasil membangun kebersamaan warga Tionghoa di Padang.
Erniwati (2007) menulis pada 1861, kelenteng yang sudah dibangun sejak tahun 1800 an terbakar. Menurut Erniwati kelenteng yang dibangun bahan kayu dan atap rumbia namanya Kwan Im, setelah hangus terbakar dan dibangun kembali maka kelenteng itu ditukar menjadi Sie Hin Kiong. Namun menurut Sosiolog Hanura Rusli, Kwan Im bukanlah nama Kelenteng tapi nama patung dewa yang ada dalam kelenteng, nama Klenteng adalah Sie Hin Kiong

Namun terlepas dari nama Klenteng, yang jelas menyusul renovasi klenteng tahun 1893, dibawah kepemimpinan Lie Goan Hoat bukan hanya klenteng yang dibangun, tapi secara bergotong royong etnis Tiong Hoa membangun pasar di dekat klenteng yang kemudian dikenal dengan nama Pasar Tanah Kongsi.

Menurut Hanura Rusli, nama Goan Hoat menjadi nama pasar dan terminal yang sekarang menjadi Pasar Raya, karena ketenaran Goan Hoat. “Goan Hoat ini orang kaya, yang banyak membangun pasar, berjiwa sosial, sehingga sangat terkenal dikalangan Tiong Hoa Padang, kemudian namanya dipakai menjadi nama terminal dan Pasar disekitarnya ” kata Hanura.