Kendaraan Listrik Meraja, Indonesia Merdeka dari Energi Kotor

Energi Terbarukan, energi masa depan Indonesia, (dok.iesr.or.id)

Hendri Nova
Wartawan topsatu.com

Hidup dalam kondisi serba dimanja, akan membuat individu atau satu negara malas untuk mandiri dan berinovasi. Akibatnya, sikap ketergantungan yang akut, dapat membuat individu atau satu negara menjadi bulan-bulanan pasar.

Kondisi ini ibarat seseorang yang sudah kecanduan narkoba. Berbagai cara akan ia gunakan, agar hasratnya untuk mendapatkan narkoba terpenuhi.

Tak hanya mencuri, bahkan ada yang mau membunuh demi untuk mendapatkan barang haram tersebut. Rasa kemanusiaan hilang dan berganti dengan naluri binatang.

Lalu bagaimana agar tidak ketergantungan ? Salah satu caranya dengan tidak mendekati sumbernya. Jadi, jangankan untuk memakai, mendekatinya saja tidak mau.

Begitu pulalah yang berlaku pada energi fosil yang menghasilkan pencemaran udara. Menurut Peneliti dan Kepala Pusat Studi Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI), Budi Haryanto, seperti dikutip dari republika.co.id, dari 100 persen pencemar polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, 70-80 persennya disumbang oleh asap kendaraan bermotor.

Ia mengatakan asap kendaraan bermotor cenderung lebih berbahaya, karena lebih mudah terpapar ke masyarakat dan pengguna kendaraan, dibandingkan asap dari cerobong pabrik.

“Pencemaran udara 60 persennya berdampak pada kesehatan. Sumber utama polutan, CO (Karbon Monoksida), (Particulate Matter) PM 10 dan PM 2,5 dan BBM bertimbal, Nitrogen oksidan NO2 (Nitrogen Dioksida), Ozon, Sulfur (BBM Diesel),” terangnya, Rabu (12/2/2020).

Karena hanya ingin senang dan untung sesaat, tak hanya Indonesia, banyak negara dunia yang mengabaikan kerugian yang akan mereka derita, jika masih juga bergantung penuh pada energi fosil.

Dikutip dari cnnindonesia.com, kerugian ekonomi akibat polusi udara dari bahan bakar fosil diperkirakan mencapai US$8 miliar per hari di seluruh dunia atau sekitar Rp112 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS). Jumlah ini mencapai 3,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Temuan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) dan Greenpeace Asia Tenggara, melansir kerugian tersebut berasal dari pembakaran minyak dan gas (migas), termasuk batu bara.

“Kami menemukan bahwa China daratan, Amerika Serikat (AS), dan India, menanggung rugi paling tertinggi akibat polusi udara dari bahan bakar fosil di seluruh dunia, dengan perkiraan kerugian sebesar US$900 miliar, US$600 miliar, dan US$150 miliar per tahun,” tulis laporan tersebut, seperti dilansir AFP, Rabu (12/2/2020).