Hukum  

TGIPF: Penyebab Insiden Kanjuruhan karena SOP dan Ketentuan tidak Dijalankan

Rhenald Khasali

JAKARTA – Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Insiden Kanjuruhan menyimpulkan standar operasional prosedur (SOP) dan ketentuan-kentuan yang sudah ada tetapi tidak dijalankan dengan baik sehingga mengakibatkan terjadi insiden tersebut.

Menurut Anggota TGIPF Insiden Kanjuruhan, Rhenald Kasali, hal ini berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang dikumpulkan TGIPF. “Tim sudah mengumpulkan seperti beberapa rekaman cctv penting dan sudah membaca seluruh SOP ketentuan-ketentuan yang berlaku,” kata Rhenald Kasali dalam Update Penanganan Insiden Kanjuruhan, di Kantor Kemenko Polhukam, Senin(10/10/2022).

Menurut Kasali, banyak hal-hal yang dibenarkan yang sebetulnya tidak tepat misalnya, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia menginformasikan bahwa selama ini mereka diamankan dengan kendaraan taktis (rantis) Barakuda itu tidak tepat, yang diberikan itu adalah rasa aman dan membangun budaya sportivitas tapi sebetulnya sudah ada dari ketentuan dari FIFA tapi tidak dijalankan.

Kemudian ada ketentuan terkait SOP dari panitia pelaksana (Panpel) sudah ada. Pihak Panpel sudah menginformasikan berdasarkan ketentuan FIFA bahwa aparat keamanan tidak boleh menggunakan Gas Air Mata. “itu sudah disampaikan menurut Panpel. Tapi entah kenapa terjadi,” ungkap Kasali.

Selanjutnya fakta dan bukti lainya, Kasali menyebutkan masih ada stadion yang dibangun bernuansa 1970. Padahal pada waktu itu persepakbolaan nasional semangatnya kedaerahan seperti persib, persija yang dibangun dan dananya dari Pemerintah Daerah (Pemda). Kali ini klub, yang seharusnya memiliki lapangan sepak bola sendiri dikelola, tapi sekarang menggunakan stadion milik pemda yang multifungsi dan keamanan di beberapa stadion tidak cukup baik.

“Ada pintu di gedung stadiun yang dibangun 1970-an. Pada masa itu jumlah penduduk belum sebanyak sekarang. Kebutuhan keinginan masyarakat menggunakan stadion belum seperti sekarang ada tempat penonton berdiri, pintunya seperti penjara, slayding dan biasa kalau panpel yang benar bahwa barikade harus dibongkar, tapi entah kenapa pintunya tidak diberikan kunci dari pengelola stadiun setempat kepada panitia pelaksana,” ungkapnya.

Menurutnya, hal itu untuk mengantisipasi jika ada apa-apa itu pintu harus dibuka (slayding) tetapi pintu itu bentuknya panjang, kemudian pintunya ada seperti penjara yang dibuka hanya beberapa pintu. Sehingga pintunya agak sempit.

“Foto-foto yang sudah kami analisis adalah dari atas pintu tribun keluar itu curam sekali dalam keadaan normalpun orang tidak akan cepat tetapi itu dibiarkan. Menurut hemat kami stadiun itu harus dibongkar dan dirubah,” kata Kasali

“Misalnya, kerumunan yang dibentuk oleh sosial media. Jadi kalaupun jumlah penonton itu dikurangi demi keamanan, penonton yang di dalam itu bisa memberitahukan teman-temannya dalam waktu segera bahwa lapangan kosong, sehingga yang mengundang yang lain untuk datang segera karena beberapa menit pertandingan selesai pintu dibuka. Jadi suasana-suasana seperti ini yang terjadi. Hari ini kami mengkonfirmasi dan diperiksa,” jelas Kasali.

Tim Pencar Fakta juga mengumpulkan informasi bahwa di sana ada gap yang lain misalnya ada surat dari Kapolres yang menyatakan meminta dilaksanakan sore hari kemudian diminta PT LIB agar dilakukan pada malam hari. Kalau memang itu ditolak kenapa Polres kalah dan harus dijalankan pada malam hari.

Tim juga berbicara pada atlet, bahwa sangat tidak nyaman bertarung mulai setengah sepuluh malam. Tapi banyak hal seperti itu dilakukan Malam hari. Mungkin salah satunya itu mengakomodir iklan rokok baru izinkan pada 10 malam bisa seperti itu.

Kalau berbicara perubahan, Menurut Kasali, semua harus dilakukan perubahan sikap mental sportivitas penonton mulai dari keselamatan dan kenyamanan penonton dan atlet-atlet sepak bola dengan cara mengamankan.