Sungai Batanghari, Dulu dan Sekarang

Penulis: Roni Aprianto (Wartawan Madya)

Arung Pamalayu Sungai Batanghari.(ist)

“Dulu berbagai jenis ikan hidup di Sungai Batanghari, dan bisa menjadi sumber kehidupan. Hal tersebut bisa saja dikembalikan dengan cara sama- sama menjaganya dengan tidak membuang sampah ke aliran sungai, menghentikan penambangan serta perbuatan yang merusak ekosistem sungai,” pungkasnya.

Sementara itu salah seorang Bundo Kanduang Kecamatan Pulau Punjung, Heni Fitri mengaku kegiatan Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi bisa menambah wawasan dan mengenal sejarah Dharmasraya, dulu dan sekarang.

“Sebagai Bundo Kanduang kita wajib mempelajari dan mengetahui sejarah peradaban Dharmasraya untuk kita tularkan kepada anak- anak kita dan masyarakat luas. Kita ada sekarang karena sejarah,” pungkasnya.

Sementara itu, penanggung jawab ekspedisi Sungai Batanghari dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Kepurbakalaan, Yunus Arbi, mengatakan, perairan sudah dimanfaatkan sebagai alat mempersatukan Nusantara. Pada abad 14, penguasa Kerajaan Singasari, Kertanegara, mengirim tentara untuk menelusuri Sungai Batanghari dari hilir ke hulu sampai Dharmasraya. Perjalanan itu sebagai upaya mempererat hubungan dengan Kerajaan Melayu. Perjalanan itu juga untuk menggalang dukungan kerajaan-kerajaan di pedalaman untuk menahan serangan bangsa Mongol. Sungai Batanghari menjadi salah satu jalur utama untuk menyatukan Nusantara.

Pada masa itu masyarakat memanfaatkan tepian sungai sebagai hunian. Penghormatan terhadap sungai terlihat dari muka rumah warga menghadap sungai. Seiring pembangunan jalur transportasi darat, kini banyak rumah dibangun membelakangi sungai.

” Ekspedisi diikuti oleh arkeolog, akademisi, sejarawan, dan mahasiswa, menelusuri tempat-tempat peninggalan Kerajaan Melayu, seperti situs Padang Roco, Pulau Sawah, dan Rambahan di Kabupaten Dharmasraya, situs Teluk Sumay di Kabupaten Tebo, dan situs Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi,” terangnya.

Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti menyebutkan, terdapat kesamaan struktur dan bahan yang digunakan pada situs-situs peninggalan Melayu Kuno. Semuanya dibangun menggunakan batu bata.

” Ekspedisi ini tidak sekadar menilik peninggalan sejarah, tetapi sekaligus mengeksplorasi perubahan yang terjadi di sepanjang DAS Batanghari. Misalnya, mengenai perubahan sedimentasi sungai, longsor, faktor perubahan sosial, budaya, dan struktur permukiman, hingga fenomena banyaknya penambang emas di sepanjang DAS,” pungkasnya. (***)