BPK Tangguh dan Tepercaya, Indonesia Jaya

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan (LK) Mahkamah Agung Tahun Anggaran (TA) 2020 di Kantor Mahkamah Agung (bpk.go.id)

“Indikator kerentanan utang tahun 2020 Indonesia berasal dari hasil kajian BPK yang menyebut melampaui batas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR).”, Sebagai lembaga Audit Kementerian/ lembaga RI yang dibentuk berdasarkan Undang-undang, maka seharusnya semua pendapat BPK didengar dan dilaksanakan. ungkap Syarief Hasan.

Utang harusnya menjadi prioritas Pemerintah untuk dikelola dengan baik. “Pemerintah harus mengelola ekonomi dengan baik. Pemerintah harus fokus menyelesaikan masalah Covid-19 yang semakin memprihatikan lebih utama diatasi sembari menguatkan perekonomian nasional yang hari ini masih resesi,” tutupnya.

BPK Tangguh dan Akuntabel

Keberanian BPK RI mengeluarkan alarm utang RI, pertanda BPK merupakan lembaga tangguh yang tak bisa diintervensi. Pemeriksaan BPK untuk mewujudkan akuntabilitas untuk semua, mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat.

Jika pun ada yang tidak percaya, sudah dipastikan mereka berada di pihak pembela Pemerintah. Seperti dikutip dari bisnis.com, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi Keuangan dari PDIP, Eriko Sotarduga, mempertanyakan standar yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia di era pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, hal tersebut harus dapat dibuktikan secara akuntabel.

“Berapa banyak utang yang jatuh tempo sehingga dapat menyebabkan pemerintah gagal bayar misalnya. Tentu pernyataan itu harus didukung oleh rilis resmi mengenai tata kelola keuangan negara agar tidak terjadi misleading informasi,” katanya melalui pesan instan, Rabu (23/6/2021).

Eriko mengakui rasio utang Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19. Namun, baik dan buruk dari kenaikan utang tersebut relatif. Oleh karena itu, BPK harus dapat menunjukkan sisi mana yang berbahaya.

Dia juga mempertanyakan apakah pengelolaan utang Indonesia sesuai dengan standar akuntabilitas keuangan negara. Menurutnya, pemerintah sudah mempersiapkan pembayaran surat berharga negara (SBN) dan sebagian besar utang pemerintah berupa SBN.

“Kemudian solusi apa yang ditawarkan oleh BPK untuk mengatasi kenaikan rasio utang di tengah pandemi ini?” jelasnya.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Eriko melihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 46,77 persen jauh lebih rendah.

Singapura ada di 154 persen, Malaysia 64,62 persen, Filipina 60,4 persen, dan Thailand 47,28 persen. Lalu dikomparasi dengan sejumlah negara maju seperti Amerika, China, dan Jepang yang mencapai di atas 100 persen.