BPK Tangguh dan Tepercaya, Indonesia Jaya

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan (LK) Mahkamah Agung Tahun Anggaran (TA) 2020 di Kantor Mahkamah Agung (bpk.go.id)

“Pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal,” jelas BPK.

Tiga Petaka Besar

Detikcom merangkum sejumlah risiko yang akan dihadapi Indonesia jika pemerintah tak mampu membayar utang. Berikut informasi selengkapnya:

1. Picu Krisis
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan, jika pemerintah sampai gagal bayar utang, khususnya utang luar negeri maka bisa memicu krisis seperti 1998.
“Karena utang luar negeri kita itu kritis, dan kalau ini merambat sampai ke utang luar negeri, terjadi gagal bayar utang luar negeri maka krisis 1998 akan terjadi, akan memicu krisis moneter, rupiah akan turun,” katanya kepada detikcom, Jumat (25/6/2021).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian mengatakan jika berkaca dari sejarah, sesuatu yang berpotensi dilakukan pemerintah ketika kepepet untuk membayar utang, yaitu mencetak uang.
Jika cetak uang sampai dilakukan pemerintah, seperti yang dilakukan di zaman Presiden Soekarno melalui Bank Indonesia (BI), yang bisa terjadi adalah inflasi naik tinggi. Semakin banyak uang dicetak semakin tinggi pula inflasinya.
“Dampaknya akhirnya apa? akhirnya orang pada panik kan, ‘nanti kita beli barang makanan bagaimana’ itu akhirnya terjadi krisis multidimensional, nanti orang-orang akan menjarah, kriminalitas naik, ya wajar karena pendapatan masyarakat nggak nutup lagi pengeluarannya,” tambah Dzulfian.

2. Sulit Ngutang Lagi

Dzulfian mengatakan sekalinya Indonesia gagal bayar utang maka terancam di-blacklist, atau lembaga pemeringkat utang akan membuat peringkat RI jeblok.

“Bahkan bisa sampai kalau kita gagal bayar utang dan jumlahnya besar itu bisa peringkat utangnya itu sampai dipredikat junk bond atau surat utang kita itu sampah, nggak ada nilainya. Jadi mau kita jual nggak ada yang mau karena ‘ngapain kita beli surat utang Indonesia orang nanti duit kita nggak balik, dia nggak mampu bayar kan’,” ujarnya.
Sementara itu, jika melihat penerimaan negara terus melemah, ditambah beban utang, khususnya bunga yang terus mengalami kenaikan, itu membuat pemerintah semakin ketergantungan utang untuk menjalankan program-program.
“Nah itu bisa dijalankan dengan artinya utang itu harus meledak, harus melonjak, utangnya harus tinggi. Nah, ini lama-lama jadi tidak sustain, karena itu kan kalau utang tinggi kan otomatis kemampuan kita bayar kalau pendapatan kurang terus ya kemampuan bayarnya melemah,” tambah Anthony.

3. Pajak Naik

Di tengah pertaruhan pemerintah dalam membayar utang, dampak yang bisa dialami masyarakat atas kondisi itu adalah naiknya pajak, di mana pemerintah bisa saja berupaya menggenjot penerimaan untuk bayar utang melalui instrumen pajak tersebut.

“Nah, permasalahannya bagi masyarakat, pertama masyarakat harus bayar pajak lebih tinggi. Terus kedua adalah bahwa ini akan terjadi inflasi,” sebut Anthony.

Dzulfian menilai pemerintah sudah kewalahan dalam mencari uang. Wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako misalnya, menjadi indikasi kondisi tersebut.