Selisih Tipis, Pilgub Sumbar Bisa Bermuara ke MK

Asrinaldi

PADANG – Hingga sore, Rabu (9/12) hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumbar berada di angka berdekatan. Hanya hasil pemilihan hitung cepat (quit count) dari lembaga survey yang dapat diperhatikan.

Dengan selisih yang mendekati angkat 1,5 persen maka pilkada Sumbar berpotensi besar bermuara di Mahkamah Konstitusi (MK). Karena dengan selisih angka itu sudah memenuhi syarat mengajukan gugatan sengketa pilkada di MK.

Pengamat Politik Universitas Andalas, Asrinaldi mengakui potensi itu. Menurutnya, dari awal pilkada di Sumbar memang sudah tidak sesuai moto lagi, badunsanak. Sudah jauh melenceng dari nilai-nilai santun.

Dengan itu, jika syarat muara ke MK terpenuhi. Maka dapat dipastikan Pilgub Sumbar akan diputuskan oleh MK. Tak tertutup pula dengan pemilihan kepala daerah lainnya di kabupaten/kota di Sumbar.

“Saya bisa pastikan, Pilgub Sumbar ini akan bermaura di MK,”sebutnya dihubungi Singgalang, Rabu (9/12).

Ada dua televisi nasional melaporkan langsung. Dua lembaga yang melakukan penghitungan cepat, Voxpol Center dan Poltracking Indonesia. Hasilnya sama-sama mengunggulkan pasangan nomor urut 4 Mahyeldi-Audy Joinaldy.

Lembaga Survey Poltracking melaporkan hingga total suara 87.60 persen, pasangan gubernur nomor urut 4 masih teratas dengan angka 32,78 persen diikuti nomor urut 2 Nasrul Abit-Indra Catri dengan angka 30.84 persen. Kemudian nomor urut 1 Mulyadi-Ali Mukhni 26.53 persen dan nomor urut 3 Fakhrizal -Genius Umar 9,85 persen.

Sedangkan, lembaga survey Voxpol merilis dengan total suara masuk 83 persen, Mahyeldi-Audy unggul dengan perolehan 32,84 persen diposisi dua nomor 2 Nasrul Abit dengan perolehan 30.07 persen, kemudian nomor urut 1 Mulyadi-Ali Mukhni 27,43 persen dan nomor urut 3 Fakhrizal-Genius Umar 9,65 persen.

Menurut dosen Ilmu Politik Unand ini, belakangan label sebagai masyarakat yang rasional dan egalitarian dalam berdemokrasi, tidak lagi layak disandang oleh orang Minang. Pasalnya, Pilkada yang mereka ikuti ini sudah menghilangkan raso jo pareso dalam berpolitik.

Hakikat raso dibao naiak yang menggambarkan hati nurani ikut menjadi pertimbangan dalam merespons politik di sekitar mereka dengan rasionalitas sudah tidak lagi dilakukan.

Begitu juga pareso dibao turun yang menjelaskan rasionalitas akal untuk mempertimbangkan keputusan yang dibuat harus juga dihubungkan dengan hati nurani apakah sejalan atau tidak. Sayangnya, aspek ini sudah ditinggalkan oleh elite dan masyarakat politisi di daerah ini. Seakan-akan kekuasaan politik yang mereka perjuangan itu adalah segala-galanya.

Bahkan hanya karena berburu kekuasaan sebagai gubernur, bupati dan walikota mereka saling menyerang kelemahan pribadi masing-masing dan saling menjatuhkan untuk menunjukan bahwa merekalah yang terhormat, terbaik dan yang paling suci di depan masyarakat. Tidak ada perdebatan program pembangunan yang mereka janjikan untuk dinilai relavansinya dengan kebutuhan masyarakat. (yos)