Padang  

Perlu Sikap Tegas BPN Tuntaskan Polemik 765 Hektare Lahan di 4 Kelurahan

Irjen Pol (Purn) Fakhrizal. (ist)

PADANG – Polemik lahan 765 hektare di empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, Padang tampaknya bakal terus bergulir, karena menyangkat legalitas kepemilihan tanah ribuan masyarakat dan imbas status hukumnya.

Hal ini pun diingatkan salah seorang tokoh masyarakat Sumbar, Irjen Pol (Purn) Fakhrizal. Menurut mantan Kapolda Sumbar ini, sumber masalah tanah 765 hektare di empat kelurahan itu adalah tidak adanya ketegasan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait status tanah tersebut. “Apakah tanah negara atau tanah adat, karena di satu sisi BPN mengatakan tanah negara. Ini dibuktikan dengan banyaknya sertifikat yang terbit dengan dasar alas hak tanah negara,” katanya di Padang, Senin (3/12).

Di sisi lain BPN mengeluarkan dokumen surat yang menegaskan itu tanah adat Kaum Maboet. “Ini kan rancu, sehingga masyarakat yang menanggung akibatnya. Banyak masyarakat yang tidak bisa memiliki sertifikat disebabkan masalah alas hak,” tutur Fakhrizal.

Untuk itu menurutnya, Kepala Kanwil BPN Sumbar Saiful dan Kakan BPN Kota Padang, Antoni harus mempertegas kepastian alas hak tanah, atau status tanah 765 hektare di empat kelurahan tersebut. “Kalau lahan itu tanah negara 1794 seluas 765 hektare di empat kelurahan, maka BPN harus menganulir surat yang sudah dikeluarkan BPN Kota Padang tanggal 24 Juli 2019 yang menegaskan, lahan 765 hektare itu milik Kaum Maboet MKW Lehar,” lanjutnya.

Surat dengan nomor MP.01/707/13.72/VII/2019 diteken Kepala Kantor Pertanahan Kota Padang saat itu, Elfidian Iskariza ditujukan ke Menteri ATR/Kepala BPN RI, Ketua KPK, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Kakanwil BPN Sumbar, Walikota Padang, Kapolresta Padang, Kajari Padang, Camat Koto Tangah, Ketua KAN Koto Tangah, Ketua KAN Nanggalo, Ketua LKAAM Sumbar dan kepada ahli waris Kaum Maboet MKW Lehar.

“Sebelum mengeluarkan surat itu, BPN Kota Padang tentunya sudah melalui pertimbangan yang matang dan dasar yang kuat, makanya BPN berani mengeluarkannya. “Kalau BPN berani pula menganulir dan dapat mempertanggungjawabkan akibat hukumya tidak apa-apa, malah bagus. Nanti akan ketahuan salahnya dimana, dan yang bersalah supaya dapat bertanggungjawab, sehingga masalahnya akan dapat diselesaikan. Kalau tidak tentunya akan berlarut-larut,” tegas pria yang akrab disapa Jenderal itu.

Fakhrizal mengingatkan, BPN juga harus bertanggung jawab terhadap adanya penyimpangan yang terjadi selama ini di atas tanah 765 hektare tersebut. “Suapaya masalah ini ada penyelesaiannya menurut saya harus ada proses hukum yang tegas dan berkeadilan, agar hak masyarakat atas tanah tersebut dapat diselesaikan yang bersalah dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya,” katanya lagi.

Kalau tidak tutur Fakhrizal, permasalahannya tidak akan pernah selesai. Akibatnya pembangunan di atas tanah itu akan terhambat, karena tidak ada yang berani membangun kalau tanahnya masih bermasalah, dan juga terhadap masyarakat yang tanahnya dalam keadaan di blokir. Begitu juga ribuan masyarakat yang belum bersertifikat tidak bisa keluar sertifikatnya disebabkan masalah alas hak atas tanah.

Ia kembali menegaskan, tiga hal yangg harus diperhatikan dalam permasalahan ini. Pertama, kepastian hukum hak tanah kaum Maboet yang sudah lama mereka perjuangkan. Kedua, nasib ribuan masyarakat yang belum memiliki sertifikat di atas tanah itu, dan menyelamatkan uang negara dari dugaan tindak pidana korupsi yang terindikasi terjadi di atas tanah 765 hektare tersebut.

“Jangan BPN Kota Padang dan Kanwil BPN Sumbar hanya mengatakan bahwa pengadilan error in objekto dalam proses keperdataannya, tapi BPN tidak berani memutuskan bahwa ini tanah negara. Saya tegaskan lagi karena surat yang dikeluarkan oleh BPN Kota Padang ini adalah dokumen negara yang berkekuatan hukum,” tegas Fakhrizal.

Apalagi surat itu sudah disampaikan kepada instansi pemerintah dan masyarakat bahwa status tanah ini adalah tanah adat. “Kalau BPN mengatakan tanah negara, BPN harus menganulir surat itu dan disampai kan lagi kepada instansi pemerintah dan masyarakat, karena inilah sumber masalahnya, tanah negara atau tanah adat,” ujarnya.

Kepala Kanwil BPN Sumbar Saiful yang dikonfirmasi terkait hal ini, tidak memberikan jawaban. Sementara Kakan BPN Kota Padang, Antoni menegaskan pihaknya berpedoman pada ketentuan terhadap penguasaan fisik di atas tanah negara bekas recht van eigendom No.1974 di luar bidang tanah sebagaimana dimaksud, sebelum diterbitkan sertifikatnya, dapat diproses permohonan haknya, sesuai ketentuan perundang-undangan. “Ini yang jadi pedoman kami,” katanya singkat. (gv)