Opini  

Mulai dari Political Education

Dr. Yesi Elsandra (Ibu 5 Anak, Ketua LPPM Universitas Dharma Andalas)

“Kembalikan Marwah Diri Orang Minangkabau”, begitu bunyi judul tulisan Rektor UNP, pak Ganefri, di Singgalang, 1 Juni 2022. Tulisan ini menjadi menarik untuk kita perbincangkan setelah ditambah bumbu rempah dari beberapa penanggap hingga menambah sedap isi tulisan, walau beraroma kegalauan dan romantisme masa lalu.

Marwah dapat berarti harga diri, kemulian, kehormatan. Sebenarnya Allah menciptakan seluruh manusia ini berharga dan mulia. Secara personal, kehormatan diri menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Tetapi secara kelembagaan, menjaga harga diri tidak bisa dibebankan hanya pada pemimpin. Semua stakeholder berkewajiban menjaganya.

Saya menangkap kegalauan dari tulisan pak Ganefri, cenderung rendah diri. Beliau menulis, “….sehingga orang Minang tergeser dari pertarungan peradaban dan pemikiran di negeri ini”. Peradaban dan pemikiran seperti apa yang dimaksud?

Agar tidak menjadi multi tafsir, perlu dijelaskan alat ukur yang digunakan sehingga pak Ganefri bisa mengatakan orang Minang tergeser dari pertarungan peradaban dan pemikiran negeri ini. Apakah alat ukurnya harus menjadi Menteri seperti pak Gamawan Fauzi atau wakil presiden seperti Bung Hatta, itu artinya orang Minang memiliki marwah dan memenangkan peradaban dan unggul dalam pemikiran, begitukah?

Jika alat ukurnya itu, lantas kita sebut apa pengusaha sukses seperti ibu Nurhayati Subakat yang telah banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan ribuan beasiswa kepada pelajar yang tidak mampu. Bahkan beliau dinilai sebagai salah satu wanita yang berpengaruh di negeri ini. Kita anggap apa bapak Azumardi Azra, satu-satunya orang Indonesia yang pernah mendapatkan Commander of The Most Excellent Order dari Kerajaan Inggris tahun 2010. Atau dianggap angin lalu sajakah ibu Alinda F.M. Zain yang pernah menjadi atase Pendidikan dan kebudayaan di KBRI Tokyo. Mereka adalah urang awak. Jika disebutkan akan lebih panjang lagi daftar orang Minang yang bersinar, masalahnya mereka belum terdekteksi saja oleh media.

Okelah, mungkin pak Ganefri memiliki alat ukur tersendiri. Jikapun itu benar, bukankah semestinya perguruan tinggi apalagi rektor juga memiliki andil atas kemajuan atau kemunduran peradaban dan pemikiran orang Minangkabau?

Bukankah mestinya di tangan perguruan tinggi tertumpu tanggung jawab menghasilkan lulusan yang bermutu, menghasilkan pemimpin, pengusaha, cerdik pandai, manusia yang bermoral dan bermartabat. Jika memang orang Minang mundur dan tergeser dari peradaban dan pemikirian, sebagai pendidik apalagi rektor, pak Ganefri adalah termasuk orang yang juga perlu intropeksi diri.

Menyalahkan pemimpin daerah memang paling mudah. Tetapi kita juga mesti jujur, pemimpin lahir dari sebuah sistem demokrasi. Menjadi pemimpin adalah produk politik. Pertanyaannya, sejauhmana orang Miang memiliki political education? Sudah sejauhmana perguruan tinggi melakukan transfer knowladge kepada masyarakat sehingga memiliki political education yang bisa melahirkan pemimpin daerah dan wakil rakyat yang berkarakter, memiliki kapasitas dan kapabilitas, bukan hanya sekedar mengendalkan isi tas.

Maju mundurnya sebuah daerah tidak bisa hasil kerja perorangan. Diperlukan kerjasama tim yang kompak bahu membahu bekerja untuk mewujudkan visi daerah. Dalam pemerintahan tim itu dimainkan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam konteks adat Minangkabau ada istilah Tigo Tungku Sajarangan, terdiri dari Penghulu (Ninik Mamak), alim ulama, dan cerdik pandai. Pak Ganefri termasuk pihak yang ketiga yaitu cerdik pandai. Sudah sejauh mana peran tigo tungku sajarangan dalam peradaban dan pemikiran negeri ini

Bagaimana peran datuk atas kaumnya? Apakah datuk hanya ada saat prosesi pengukuhan saja? Apakah wibawa datuk masih kuat seperti zaman saisuak. Dulu kita mengenal istilah “anak dipangku, keponakan dijinjiang.” Masih adakah Mamak yang benar-benar mempedulikan ponakannya, membiayai sekolah dan kuliah misalnya? Kita perlu menjawab semua ini agar tidak ada pihak yang dijadikan kambing hitam atas dugaan tergesernya peradaban dan pemikiran orang Minangkabau seperti tulisan pak Ganefri.

Saya sendiri menilai orang Minangkabau telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Boleh dikatakan tidak ada kampus negeri di Indonesia ini yang tidak ada orang Minangkabau sebagai dosennya. Tidak ada kampus negeri yang tidak ada mahasiswa Minangnya. Tidak ada pasar di Indonesia ini yang tidak ada orang Minang mangaleh di sana. Jika hari ini tidak ada orang Minang yang jadi Menteri apalagi presiden itu bukan sebuah kemunduran. Tokoh akan hilang timbul, pemimpin akan berganti. Semua ada masanya, semua akan dipergilirkan. Yang lebih penting adalah pemerataan kesejahteraan.

Tulisan pak Ganefri menjadi penting untuk kita kunyah-kunyah dan telaah menginggat sebentar lagi 2024 akan ada pesta demokrasi. Akan ada pemilihan eksekutif dan legislatif. Kita tentu ingin memiliki pemimpin yang takah, tageh dan tokoh. Begitupun juga dengan wakil rakyat, kita berharap sekali memiliki wakil rakyat yang mampu melahirkan undang-undang yang berpihak pada terwujudnya kesejahteraaan rakyat. Bukan hanya menjadi wakil rakyat karena banyaknya isi tasnya, atau karena suaminya pejabat, bapaknya pejabat, tetapi belum tentu mampu membuat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Mari kita mulai dari sekarang, memberikan political education kepada masyarakat dan menyiapkan tokoh, agar keputusan politik 2024 nanti tidak menjatuhkan marwah kita sebagi orang Minang. Termasuk mengoptimalkan peran tigo tungku sajarangan, agar semangat orang Minang terus berkobar dan menyala untuk terus tumbuh dan berkembang.(*)