CSR Pertamina Merenda Pariaman jadi Kawasan Konservasi Alam

Tracking Mangrove, salah satu program CSR PT Pertamina DPPU BIM dalam upaya menjaga kelestarian hutan mangrove. (yuni)

“Mengakalinya dan supaya tidak ada lagi masyarakat yang menebang mangrove, muncul ide kami membangun jembatan tracking ini untuk jadi objek wisata. Orang pasti ramai dan otomatis oknum tersebut tentu berpikir dua kali untuk untuk menebang mangrove. Setidaknya, mereka tidak berani, karena banyak orang yang melihat,” tutur Tomi lagi.

Benar saja. Sejak adanya tracking mangrove ini, tidak ada lagi yang menebang mangrove. “Malah, anak-anak muda sekitar yang mengurus parkir ikut menjaga dan merawat kawasan hutan mangrove dari aksi tak terpuji, termasuk aksi vandalisme,” ceritanya lagi.

Selain itu, ke sana berdatangan banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga ada yang dari negara tetangga, diantaranya Malaysia yang “menimba ilmu” tentang mangrove dan ikut menanam mangrove.

“Sejak kawasan ini ada, banyak yang ingin ikut ambil bagian. Bahkan TDC juga kerjasama dengan biro perjalanan yang melaksanakan green tourism. Biasanya anak-anak yang ikut tour akan menanam mangrove,” tutur Tomi.

Saking seringnya ditanami, hampir tidak ada lagi lahan di Desa Wisata Apar yang bisa ditanami mangrove. Makanya, Tomi dan rekan-rekannya kini tengah berusaha mencari kawasan pengembangan agar bisa menanam mangrove, sehingga bisa terus tumbuh dan berkembang menjadi paru-paru dunia.

Langkah ini tentu patut diacungi jempol, terutama bagi PT Pertamina yang lewat CSR-nya turut dan terus membantu berbagai upaya penyelamatan bumi dari berbagai kerusakan. Untuk mangrove saja, berdasarkan data Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) seperti yang dirilis icel.or.id pada 22 April 2019 lalu diketahui Indonesia memiliki 2,9 juta hektare (ha) atau seperempat dari hutan mangrove yang ada di dunia.

Luas hutan mangrove di negara ini bahkan hampir sama dengan luas negara Belgia. Hanya saja, kerusakan hutan mangrove juga terbilang parah. Setiap tahun 52.000 ha hutan mangrove Indonesia hilang. Padahal, dalam satu hektare hutan mangrove di negara ini menyimpan 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Bila hutan mangrove ini rusak, emisi tahunan dari kerusakan hutan mangrove Indonesia bisa mencapai 190.000.000 CO² ton/tahun. Jumlah itu sama dengan emisi setiap mobil di Indonesia jika mengitari bumi selama dua kali.

Belum lagi, kerusakan terumbu karang. Di Sumatera Barat saja, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat sepeti yang dirilis dari harianhaluan.com yang tayang pada 5 Mei 2019 terdapat 70 persen terumbu karang yang rusak dari 39.619 hektare luas terumbu karang di daerah ini. Padahal, terumbu karang berfungsi sebagai habitat bagi spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya.
Jadi wajar saja harapan dari Roby Hervindo dengan pengembangan reef garden di Pulau Ujung tersebut bisa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan masyarakat setempat khususnya dan warga lain umumnya. (Yuniar)