UBAH LAKU; Papa..Cepatlah Pulang..

Muharman, pasien positif Covid-19 saat video call dengan jantung hatinya. Hanya lewat video call dilepaskannya rindu saat menjalani isolasi sejak lima hari belakang. (Dok Muharman)

Ini kisah sesungguhnya dari saya. Mati saja yang tidak. Corona ini, meremas jantung. Diremas lalu dililitnya. Sesak napas. Kalau Anda suami, istri mana yang takkan menangis melihatnya. Jika Anda suami, semata keranjang apapun kau, maka pasti sedih, apalagi kalau sebagai suami sejati. Jangan sok tegar. Karena itu, bacalah kisah saya ini.

Bagi yang mau, bagi yang tidak, semoga Allah menyelamatkanmu sekeluarga:

 “Ah, itu kan Covid-19 bisa selesai dengan meningkatkan imun tubuh”,

“Ah tidak ada Covid-19 membunuh manusia, yang ada kematian karena ada sakit lain”.

“Ah, jangan takut tingkat kesembuhan Covid-19 tinggi kok”,

“Ah tinggal minum rempah-rempah selesai sudah”

Beragam komentar masyarakat hari ini seolah-olah menyederhanakan persoalan Covid-19. Argumentasi-argumentasi inilah yang kemudian berdampak terhadap kurangnya kesadaran kelompok masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.  

Memang benar, Covid-19 adalah masalah imun tubuh, memang benar Covid tidak membunuh, memang benar Covid-19 tingkat kesembuhan tinggi dan segala macamnya, tapi ingat bahwa Covid-19 tidak hanya merongrong anda secara fisik tapi juga psikologis.

Setidaknya itu yang saya rasakan bahkan sejak sebelum dinyatakan positif.

Saya merasakan tekanan psikologis yang luar biasa bahkan sejak merasakan gejala ringan sakit tenggorokan. Saya kesulitan tidur dan merasakan jantung berdebar. Secepatnya saya putuskan melakukan tes usap. Selama menunggu hasil tes sekitar 5 hari itulah saat dimana tekanan psikologis saya makin meningkat. Saya mulai membayangkan hal-hal terburuk. Bagaimana jika hasil positif, bagaimana anak-anak dan keluarga lainnya, apakah mereka siap melakukan tes yang sama, bagaimana pekerjaan, bagaimana menjalankan masa-masa isolasi dan beragam pikirannya, semua melulu soal yang terburuk sebelum dilakukan tes usap. Perasaan saya seperti diaduk, layaknya naik roller coaster. Sebelum hasil tes keluar satu-satunya yang saya ajak untuk berbincang hanya sang istri.

Saya tahu dia pun tak kalah tertekannya, tapi berusaha menenangkan. Kami melakukan itu secara virtual, walaupun jarak kita hanya dibatasi dinding. Hal ini karena saya sudah mengambil langkah isolasi mandiri di rumah.