Teror Varian Omicron dan Keajaiban Indonesia 

Inggris : 136.228 jiwa. Perancis : 67.461. Australia : 30.000 pada hari sama. Padahal, dua minggu lalu, saya masih mencatat kasus harian Australia sekitar 1300 jiwa. Tidak berlaku lockdown di sana meski mengalami kenaikan kasus. Pemerintah cukup percaya diri dengan vaksinasi warga yang sudah melebihi 80 persen. Saya sudah bersiap mengunjungi Si Bungsu begitu border yang dijanjikan November tahun lalu, dibuka. Tapi, nyatanya tidak. Menlu RI, Retno Marsudi, mengatakan sementara ini yang dibuka (baru saja) untuk pelajar dan pekerja musiman. “Saya baru saja cek kembali kepada Pak Dubes,” kata Menlu, Minggu (2/1) malam lewat japri di WA.

Empati Menlu

“Bagaimana kondisi Ananda, Pak? Please, let me know, jika ada yang dapat dibantu KJRI, “sambung ibu Retno yang baik hati itu menunjukkan empatinya. Usai mengikuti tulisan saya, “Kisah Putri Bungsu Terpapar Omicron di Melbourne”.

Keajaiban Indonesia

“Keajaiban” terjadi di Indonesia. Padahal, secara kasat mata kita menyaksikan betapa masyarakat euforia merespons penurunan drastis penularan Covid-19 di Tanah Air. Meskipun dilarang, tetap saja mereka berkerumun merayakan liburan Natal dan Tahun Baru di rumah maupun di tempat umum. Di restoran, di mall, di jalan- jalan, euforia itu tampak kebablasan. Seakan sudah merdeka dari pandemi.

Secara angka-angka, dengan negara tetangga saja, Singapura dan Malaysia, yang tingkat kepatuhan warganya tinggi, Indonesia masih unggul. Per Tanggal 3 Januari, “hanya” 265 kasus, rata-rata harian selama seminggu : 222. (Singapura : 464 kasus baru dan Malaysia : 2.690). Di Indonesia, Jakarta yang dominan, sekitar 50 persen dari kasus Nasional. Maklum. Ini Ibu Kota. Pintu gerbang Indonesia. Destinasi satu-satunya penerbangan asing. Wajar jika Omicron pertama kali ditemukan di sini.

Begitu pun data terakhir di Indonesia, masih “kecil”, sekitar 168 jiwa yang terpapar varian itu.

Masih ingat awal Covid-19 menulari dua orang Indonesia pertama pada awal Maret 2020? Kurang dari sebulan, penularannya sudah mencapai 10 ribu jiwa.

Omicron di Indonesia ditemukan pertama kali pada diri seorang petugas di Wisma Atlet, 16 Desember. Penularannya relatif bisa dibendung dengan angka “hanya” 160 an. Sebagian sudah sembuh dan tidak ada kematian.

Diskriminasi

Yang kita tidak tahan di Tanah Air itu hanya gegernya. Bikin panik rakyat. Saling silang pendapat di tengah masyarakat. Antara otoritas versus pengamat. Tambah seru karena penanganan otoritas serba paradoks. Koordinator penanganan Covid-19 Jawa Bali, Luhut Binsar Panjaitan, Selasa (4/1), mengumumkan Omicron sudah menyebar ke mana-mana. PPKM Jawa – Bali pun dinaikkan kembali levelnya ke Level 2. Namun, saat bersamaan pemerintah memangkas masa karantina bagi pendatang dari luar negeri. Padahal, jelas-jelas varian itu dibawa pendatang dari luar negeri. Tadinya karantina 10 hari (dari negara yang bukan konsentrasi Omicron) menjadi 7 hari. Sedangkan pendatang dari negara yang terkonsentrasi Omicron semula 14 hari menjadi 10 hari. Sementara itu pelajar sudah mulai sekolah tatap muka sejak Senin (3/1) dengan kapasitas 100 persen.

Rasanya, tidak lama lagi soal vaksin ketiga (booster) kembali akan memicu gaduh di tengah masyarakat. Pemerintah merencanakan kick-off vaksin booster untuk masyarakat umum, 12 Januari. Berbayar atau gratis? Tunggu putusan yang akan diumumkan pemerintah dalam waktu dekat.

Mengacu pada UU No 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya menjadi kewajiban pemerintah melindungi masyarakat.