Sumbar Teladan dalam Keberagaman

Tarian khas masyarakat Kepulauan Mentawai, Turuk laggai, terus berkembang dan melengkapi keragaman tarian tradisional asal Sumatera Barat. (hendri nova)

Hendri Nova
Wartawan Topsatu.com

Sumatera Barat (Sumbar) bisa menjadi contoh potret keberagaman bangsa yang penuh semangat toleransi.

Di sini semua etnik dari seluruh Indonesia bisa hidup saling berdampingan. Wujud toleransi warga Sumbar bisa dilihat dari kelegowoan mereka, menerima nama-nama tempat atau perkampungan yang tidak bercirikan Minangkabau yang kental adat istiadat dan fanatiknya pada Islam.

Tidak heran di Sumbar ada Jalan Gereja, di sisi lain tak ada jalan bernama Jalan Masjid. Ada juga perkampungan yang bernama Kampuang (Kampung/desa) Nieh (Nias), Kampuang Kaliang (sebutan untuk India Tamil), Kampuang Cino (Cina), Kampuang Jawa, dll.

Di sisi lain, tidak ada perkampungan yang mencirikan daerah-daerah yang ada di Sumbar. Tidak ada kampung yang disebut Kampuang Sangka (Batusangkar), Kampuang Kiktinggi (Bukittinggi), atau yang lainnya.

Orang Minangkabau juga hidup berdampingan dengan saudara mereka yang tinggal di Kepulauan Mentawai yang menganut agama nenek moyang dan juga sudah ada yang masuk Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Khatolik. Mereka kalau datang kedaratan (Padang, Pesisir Selatan, dll) diterima dengan baik, tanpa membedakan atas kepercayaan mereka.

Darah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang mengajarkan dan mendidik agar saling bertoleransi dan menghormati Hak Azasi Manusia (HAM), membuat Sumbar senantiasa damai tanpa ada perang antar etnis. Hampir tidak ada perkelahian ataupun tawuran etnis di Ranah Minang ini.

Padahal antar kampung itu kadang letaknya berdampingan. Sebutlah Kampuang Kaliang dan Kampuang Cino yang terletak di sebelah Barat Kota Padang atau daerah Kecamatan Padang Barat. Dua kampuang ini letaknya berdekatan dengan perkampungan orang Minang yang menyebar di sekeliling kedua kampung ini. Alhamdulillah tak ada terdengar mereka tawuran, meski ada silang sengketa, semua bisa diselesaikan secara musyawarah.

Dikutip dari id.wikipedia.org, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021 mencatat bahwa mayoritas penduduk Sumbar menganut agama Islam yakni, 97,48%. Sebagian lagi menganut agama Kristen sebanyak 2,29% dan terutama di kabupaten Kepulauan Mentawasi yang mayoritas beragama Protestan dan Katolik. Sebagian kecil beragama Budha, yakni 0,22%, merupakan keturunan Tionghoa yang berada di kota, seperti kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Solok. Sementara pemeluk agama Hindu dan kepercayaan, kurang dari 0,01%.

Jumlah rumah ibadah berdasarkan data BPS 2021 terdapat 5.218 masjid dan 9.661 musholah atau langgar. Ada 267 gereja Protestan, 62 rumah kebaktian, dan 131 gereja Katolik. Kemudian terdapat 8 Vihara dan 1 Pura yang terletak di Padang.

Orang Minang sendiri tidak akan bangkit rasa Keminangannya, jika tidak diganggu adat maupun agamanya. Jika salah satunya diganggu, maka jalan penyelesaian yang ditempuh adalah musyawarah. Alhamdulillah selalu bisa diselesaikan, sehingga hingga kini Sumbar aman dari perang antar suku, agama, ras, adat istiadat (SARA).

Wujud toleransi itu juga terlihat dari tidak merasa saling terganggu dengan suara lonceng gereja, sebaliknya mereka yang non Muslim tidak terganggu dengan lantunan suara azan ataupun ayat-ayat suci Alquran yang diperdengarkan dari masjid maupun mushalla.

Meski akhir-akhir ini gesekan yang terjadi di Jakarta kadang berimbas ke Sumbar karena nuansa politik, Alhamdulillah hingga saat ini masih berjalan baik-baik saja.

Kondisi ini tentunya harus selalu dipertahankan, sehingga Sumbar akan menjadi provinsi yang senantiasa damai, saling hormat-menghormati, bertoleransi, saling dukung mendukung, menghargai HAM dan jauh dari kerusuhan bernuansa SARA.