Realisasi PBB Nagari Buayan Rendah, Banyak SPPT tak Dikenal

Walikorong Titian Akar, Arif Rahman menyebutkan korongnya ditargetkan Rp10 juta. Namun pada 2019 dan 2020 hanya bisa direalisasikan Rp4 juta. Untuk tahun ini baru terkumpul Rp1 juta.

Kendala yang dihadapi, kata Arif berkaitan dengan faktor ekonomi. Dimana hasil pertanian mengalami penurunan di masa pandemi ini. Penyebab lainnya adalah wajib pajak yang berada di luar nagari dan tidak diketahui keberadaannya. Perubahan kepemilikan juga mendatangkan permasalahan tersendiri.

Menanggapi pemaparan walinagari dan walikorong yang ada di Buayan, Anggota DPD RI, H. Leonardy Harmainy mengatakan informasi yang dia terima bermanfaat untuk tugas pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang perubahan atas UU No. 12/1984 tentang PBB.

Dalam aturan itu disebutkan PBB menjadi pendapatan negara. Sebanyak 90 persen diantaranya dikembalikan ke daerah (provinsi, kabupaten dan kota).

“Berarti besar realisasinya, pengembalian PBB ke daerah makin tinggi. Dengan tingginya pengembalian, makin besar dana yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan daerah,” ujar Leonardy.

Memang sulit memungut pajak yang objeknya ada tapi pemilik tidak dikenal, atau objeknya ada namun pemiliknya berada di nagari atau daerah lain.

Leonardy meminta walinagari untuk mengkalkulasikan jumlah PBB yang tak bisa ditagih. Jika 50 persen atau lebih, berarti ada yang harus dibenahi agar PBB yang ditargetkan lebih tinggi realisasinya.

Salah satu cara mengatasi kesulitan yang dihadapi para walikorong ini yaitu dengan penataan ulang. Hanya saja, harus disadari dasar penerapan PBB itu dari nilai jual objek pajak (NJOP) yang sekali tiga tahun bisa ditetapkan naik oleh Menteri Keuangan.

Jika ditata ulang, bisa saja NJOP tanah atau bangunan tersebut naik. Maka PBB-nya juga naik.
“Pertanyaannya apakah masyarakat mau membayarnya kalau sudah naik. Sekarang saja mereka sepertinya enggan membayar PBB. Jadi masalah baru bagi walikorong atau kolektor nantinya,” ujar Ketua Badan Kehormatan DPD RI itu.

Terkait upah pungut yang hilang sejak 2018, dikatakan Leonardy bisa jadi penyebab menurunnya semangat walinagari untuk memungut PBB. Namun sekarang kan ada insentif untuk realisasi di atas 75 persen,” ungkap Leonardy.

Untuk itu dia mengharapkan agar walinagari memotivasi walikorong untuk meningkatkan realisasi PBB sesuai target yang ditetapkan. Jika capaian target nagari melebihi 75 persen, maka insentif yang lebih besar bakal diterima.

Terkait harapan walinagari dan perangkatnya, Leonardy mengatakan hal itu sudah menjadi perhatian dari Komite IV DPD RI. (rel)