Realisasi PBB Nagari Buayan Rendah, Banyak SPPT tak Dikenal

BUAYAN – Lima korong di Nagari Buayan, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman terbilang rendah realisasi pengumpulan pajak bumi dan bangunan (PBB). Bahkan ada yang walikorong yang cuma berhasil mengumpulkan Rp500.000. Padahal target pajaknya Rp10 juta.

Walinagari Buayan, Deni Setiawan, menyatakan realisasi PBB di nagarinya paling tinggi 38 persen. Rendahnya realisasi ini disebabkan hasil pertanian di daerahnya cukup rendah dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19.

Rendahnya hasil pertanian menjadikan masyarakat kesulitan membayar PBB yang cukup tinggi nilainya. “Umumnya mayarakat kami bertani pak, maka jika hasil tani menurun akan berakibat pada hal-hal lainnya,” ujar Deni.

Selain itu, realisasi PBB ini juga dipengaruhi sejumlah kendala yang ditemui para walikorong dan kolektor yang ditunjuk untuk memungut PBB tersebut.

Dalam kesempatan itu walinagari mengharapkan agar walinagari yang sudah purna bakti diberikan perhatian atau penghargaan. Dia juga minta honor Bamus dinaikkan.

Walikorong Kepala Buayan Edi Koan Zunianto menyebutkan target PBB yang dibebankan Rp13 juta. Hanya saja realisasi Rp5 juta pada 2019. Pada 2020, realisasi menurun.

Di wilayahnya, ada 150 hektar sawah. Umumnya yang punya sawah adalah orang di luar korong tersebut. Penggarap sudah diingatkan untuk memberi tahu pemilik untuk bayar PBB sawah mereka. Namun tak dibayar juga.

“Warga yang tinggal di korong kami umumnya mau membayar pajak. Mereka yang tinggal di luar korong yang tidak membayar,” tegasnya.

Nama di SPPT juga jadi persoalan. Nama pemilik yang tertera adalah nenek atau orang tua dari wajib pajak yang saat ini tinggal di korong itu. Mereka tidak mau bayar.

Begitu juga dengan lahan yang sudah dijual. SPPT masih atas nama pemilik lama. Sertifikat sudah berubah namanya sementara di SPPT tidak. Pemilik baru tidak mau bayar karena bukan atas nama dia.

“Kami sudah laporkan ke Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang terkait dengan pajak. Namun belum ada perubahan. Bagusnya di data ulang saja,” ujar Edi yang sudah 30 tahun mengurusi masyarakat mulai dari dusun hingga korong saat ini.

Edi juga mengingatkan tentang upah pungut per lembar SPPT yang kini tak ada lagi. Dulu sebelum 2018 dia masih menerima Rp2.000 per SPPT.