Merdeka Sekolah di Kampung Sendiri

Foto: Para siswa SD Negeri 17 Kawai saat sedang jam istirahat sekolah. (ist)

Kekurangan jumlah siswa dan guru memang saling keterkaitan. Kekurangan siswa bukan terjadi karena sekolah itu terletak di daerah terpencil, terluar dan terpinggir. Letaknya hanya sekitar dua kilometer dari jalan kabupaten Lintau – Batusangkar.

Namun, karena tingkat kelahiran yang berkurang dan sebagian warga yang merantau membuat siswa usia sekolah dasar sedikit. Di samping itu, jarak rumah yang lebih dekat ke jorong tetangga menjadi faktor yang membuat cukup banyaknya warga di jorong itu (setingkat RW di perkotaan) menyekolahkan anaknya di jorong tetangga.

Dari total jumlah siswa, kelas enam bahkan hanya delapan orang satu rombel. Yang paling banyak hanya kelas tiga sebanyak 19 orang.

Asbar menduga, kemungkinan karena jumlah siswa yang sedikit itu membuat distribusi guru PNS ke sekolah tersebut terkendala. “Mungkin karena rasio guru dan murid sudah mencukupi dan sekolah ini digolongkan sebagai sekolah kecil, sehingga pemerintah lebih dahulu memenuhi kebutuhan guru pada sekolah yang memiliki banyak siswa atau yang lebih membutuhkan,” katanya.

Untuk permasalahan kekurangan siswa tersebut, kepala sekolah sudah mendiskusikan dengan kepala sekolah di dua jorong lain dan tokoh masyarakat setempat untuk mencari solusi. Karena kondisinya, sekolah itu kekurangan siswa, sementara sekolah sekitar bahkan ada yang berlebih.

Asbar berharap persoalan kekurangan murid hingga ancaman regrouping tak lagi menjadi momok bagi masyarakat. Meski bukan suatu hal yang mengerikan, tapi regrouping seolah membuat mundur masyarakat kampung itu kembali ke tahun-tahun awal kemerdekaan.

Sekolah itu memang memiliki sejarah cukup panjang. Dalam perjalanannya, selain dibantu pemerintah, pembangunan secara fisik sekolah itu sudah sering dilakukan secara swadaya. Caranya, masyarakat setempat mengadakan sandiwara rakyat setiap kali liburan. Hasil pertunjukan diserahkan untuk pembangunan kelas dan lainnya. Karena itu, sangat disayangkan jika suatu saat sekolah harus tutup hanya karena kekurangan siswa dan guru.

Hampir seluruh masyarakat kampung yang sudah tua saat ini, bersekolah di sekolah tersebut. Dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) dengan bangunan sangat sederhana, kini telah menjadi bangunan sekolah yang cukup representatif untuk sebuah bangunan sekolah di desa. Tak hanya ketercukupan ruang kelas dan guru, tapi juga dari sisi penampilan luar dan keasrian.

“Kalau sekolah dipindahkan, rasanya ada yang hilang dari sejarah desa ini. Karena, perkembangan sekolah tak bisa dilepaskan dari peran masyarakat setempat,” kata seorang alumni, Miziar (70).

Jika sekolah dimerger atau digabung dengan sekolah lain, seolah kemerdekaan yang terenggut dari anak-anak di kampung itu, katanya.

Merdeka Belajar