Laporan HPN 2023 Medan (6 Habis) Ibadah Jumat Yang Menjinakkan Hati

MEDAN. Kamis (9/2) setelah Presiden Jokowi yang hadir pada hari puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 Medan, Sumut, cabut dari lokasi acara puncak, sebagian besar dari sekitar 200 wartawan dari Sumbar mulai berkemas untuk “mudik ” kembali ke ranah Minang.

Begitu juga rombongan saya para pengurus PWI Sumbar yang di tim menejeri oleh Sawir Pribadi, Wapimred Harian Singgalang, segera pula bertolak menaiki sebuah bus carteran bermerek dinding Pangeran. “Sudah letoy semua, membayangkan beratnya jalan darat menempuh jalan tol (ta oleang oleang) selama satu hari satu malam penuh Medan – Padang sejauh 783 kilometer ” kata Andri Besman Pimred Fajar Sumbar.co

 

Waktu tulisan ini saya ketik, dari grup Whatsapp HPN Sumbar saya baca, Alhamdulillah semua rombongan yang berjumlah 30 orang itu sudah sampai dengan selamat, kecuali saya. Saya masih di kota Medan untuk mengikuti kegiatan lain di Langkat Tanjung Pura , Haul Tarikat Mufarridiyah hari Minggu besok (12/2).

Begitu rombongan bertolak meninggalkan kota yang digawangi menantu Jokowi , Bobby Nasution, saya “mengungsi” dari hotel Le Polonia, ke sebuah hotel kecil disamping masjid Raya Mahsum Medan yang terletak tak jauh dari istana Maimun.

Ya, masjid Raya Mahsum Medan terletak di pusat kota Medan, fotonya sering saya lihat sebagai gambar zaman almanak tahun 1970 lalu. Saya ingin menceritakan tentang sejarah masjid tertua di Medan ini, tapi tak usahlah, sudah banyak ditulis orang, yang ingin tahu silakan saja cari di google, lengkap semua.

Tapi sebagai oleh oleh terakhir HPN tahun ini, saya laporkanlah pengalaman saya salat salat Jumat di masjid yang dibangun oleh Sultan Deli Sultan Ma’mun Al-rasyid Perkasa Alam tahun 1906 Masehi.

Saya usahakan naik masjid lebih awal yakni pukul 12.15, sedangkan waktu salat Jumat (10/2) di Medan pukul 12.40.

Walaupun sejak 6 tahun terakhir, saya nyaris tiap bulan Rajab selalu mengunjungi masjid ini, sebagai tempat transit sebelum pergi Langkat Tanjung Pura, namun setiap memasuki ruangan dalam masjid yang tak begitu luas ukurannya dibanding masjid masjid Raya Sumbar, suasana magis yang tidak bisa diungkapkan selalu saya rasakan.

Karena masjid belum penuh, saya duduk di bahagian tengah ruangan sejajar dengan mimbar masjid yang tingginya satu meter lebih dengan anak tangga berjumlah 9 buah. Saya pilih tempat duduk disitu dengan harapan saya dapat dengan jelas melihat khatib yang akan berkhotbah.

Langsung salat sunah tahyat (penghormatan) masjid dua rakaat, salat wuduk dua rakaat, menunggu khatib naik mimbar saya berzikir, membaca surah Assajadah dan berdoa, pokoknya tak saya biarkan waktu berharga ini kosong, seperti dengan memperhatikan ukiran masjid bercorak Spanyol dan India itu, apalagi membuka android ber wek a wek a.

Jelang khatib naik mimbar tak ada pidato pidato pengurus seperti kebiasan kita di Sumbar, tak ada laporan keuangan, perkenalan nama khatib, siapa Imam dan muazin, hanya ada pengumuman ajakan untuk salat ghaib berdoa untuk korban gempa Turki dan Suriah seusai salat Jumat nanti.