Opini  

Konsolidasi Kekayaan SDA Bangsa

Oleh: Defiyan Cori - Ekonom Konstitusi

Selain itu, Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang tertanggal 18 September 2014, juga telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN menjadi bagian dari perspektif hak penguasaan keuangan negara dalam paradigma pengelolaan kekayaan negara. Maka, dengan keputusan MK itulah secara yurisprudensi telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” yang terdapat dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara.

Meskipun Undang-Undang ini dengan tegas menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum pribadi (private) dan teori kekuasaan pengelolaan kekayaan negara. Dari dua perspektif atas tafsir yang berbeda itu, salah satunya menyatakan, bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN. Bahkan, BUMN pun harus tunduk pada ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) selain UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Inilah pangkal terjadinya kesalahan (misleading) cara berpikir yang menempatkan keuangan negara hanya sebagai modal yang berbentuk penyertaan saham pada BUMN melalui APBN dan tidak melihat proses sejarah panjang perjuangan kehadiran BUMN dimasa kolonialisme dan akumulasi operasional yang dalam pengertian akuntansi dihasilkan dari modal awal dalam bentuk Saham Negara sumber APBN ini. Dampak hukum konstitusional atas Putusan MK ini tentu akan merambah pada sektor hulu atau pengelolaan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), khususnya pertambangan mineral dan energi yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia.

Contoh kasus lain terjadi pada PT Aneka Tambang Tbk (Antam) perusahaan negara yang bergerak di bidang pertambangan dan pengolahan serta pemasaran mineral alam. Antam telah menjadi anggota dari MIND ID (Mining Industry Indonesia) sebuah holding BUMN Pertambangan yang baru dibentuk pada tahun 2017. BUMN Holding Industri Pertambangan merupakan perusahaan pertambangan yang terdiversifikasi dan terintegrasi secara vertikal yang berorientasi ekspor. Melalui wilayah operasi yang tersebar di seluruh Indonesia yang kaya akan bahan mineral, kegiatan Antam mencakup eksplorasi, penambangan, pengolahan serta pemasaran dari komoditas bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit, dan batubara.

Pada tahun 2021, BUMN Antam mencatatkan laba bersih senilai Rp1,8 triliun dari total pendapatan Rp 38,4 T. Sedangkan pada tahun 2022 kinerja laba bersih Antam telah mencapai Rp3,82 triliun atau meningkat 105 persen.
Capaian kinerja positif ini didukung oleh optimalisasi sektor produksi dan penjualan komoditas utama berbasis nikel, emas dan bauksit di tengah kondisi pemulihan ekonomi dunia terkait komoditas logam dasar dan logam mulia.

Sayangnya, BUMN Antam pun secara resmi telah memecahbagikan saham negara dan diperjualbelikan di bursa efek karena telah melakukan IPO (Initial Public Offering) pada tanggal 27 November 1997 lalu dengan harga penawaran perdana saham Rp1.400 per lembar (per Juni 2023 Rp1.895 per lembar). Artinya, tidak seluruh laba Antam tersebut akan masuk utuh ke kas negara karena harus dibagikan kepada para pemegang saham non negara atau publik yang terdiri dari individu dan institusi lainnya, bahkan asing. Dengan logika seperti inilah MK sebagai mahkamah bagi penegakan konstitusi ekonomi harus bertanggungjawab penuh terhadap putusannya yang mengesahkan secara hukum kebijakan IPO BUMN dengan berbagai konsekuensi dan dampaknya pada keuangan negara.

Pada BUMN yang mengalami kerugian, seharusnya kompensasi PMN yang telah diberikan justru harus mengurangi porsi kepemilikan saham (delusi) secara proporsional yang dipegang oleh publik sebesar 50 persen lebih dan menambah porsi saham Negara. Kebijakan inilah yang wajib (is a must) serta harus ditetapkan oleh pemerintah sehingga PMN mengkompensasi dan keuangan negara tidak terus dirugikan oleh kewajiban wanprestasi oleh pemegang saham publik!

Inilah permasalahan krusial terkait pengelolaan keuangan negara yang patut dicurigai publik terkait PMN pada BUMN yang telah IPO tersebut adalah sebuah kewajaran. Hal ini terjadi disebabkan oleh kenihilan bentuk tanggungjawab pemegang saham publik melalui pendelusian atau mengurangi proporsi sahamnya. Kenapa delusi saham publik tidak terjadi pada BUMN IPO di pasar bursa yang menerima kucuran PMN yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rentang waktu 2005-2021 telah berjumlah Rp369 triliun itu? Berapakah jumlah tambahan modal yang dikucurkan oleh pemegang saham publik pada BUMN yang IPO supaya azas transparansi tak hanya dituntut pada Negara.

Oleh karena itulah, Putusan MK terkait keabsahan IPO BUMN menjadi bumerang keberlanjutan pengelolaan kekayaan SDA yang dimandatkan secara penuh kepada BUMN akan berpengaruh secara ekonomi pada pemasukan kas negara. Porsi saham negara yang telah berkurang sebesar 49 persen memang masih memungkinkan adanya kendali negara melalui kepemilikan saham sebesar 51 persen, namun dengan pengaruh pihak lain pada RUPS BUMN sesuai porsi saham publiknya, demikian pula halnya dengan pembagian labanya. Seharusnya, MK mengambil putusan tidak hanya berdasarkan pada pemikiran korporasi ansich (corporation minded) terkait BUMN dan lebih memperhatikan kebijakan ekonomi-politik kesejarahannya.

Seharusnya tafsir *dikuasai oleh negara* ini merupakan mandat konstitusional kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak perlu ditafsirkan lagi oleh para pihak lulusan perguruan tinggi luar negeri (scholar) yang melihat praktek-praktek perekonomian negara maju. Apalagi, kalau memahami kesejarahan (historis) nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda dan asing lainnya, termasuk penguasaan ekonomi oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang monopolistik dulu di Indonesia. VOC merupakan perusahaan yang didirikan untuk menguasai secara monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia dan Asia.

Selain VOC, ada pula Geoctroyeerde Westindische Compagnie (GWC) yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan inilah yang dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang juga memecahbagikan (stock split) melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) pertama kali kepada publik, namun berakhir bangkrut oleh masalah korupsi, kolusi dan nepotisme! Konsolidasi pengelolaan kekayaan SDA yang dimandatkan kepada BUMN inilah seharusnya menjadi Putusan MK sebagai wujud tafsir ayat 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi negara. Bukan malah mengabsahkan kebijakan memecahbagikan saham negara (stock split) sebagaimana halnya perilaku korporasi kolonialis VOC! Lalu, apa arti dan guna adanya MK sebagai mahkamah konstitusi?