Opini  

Konsolidasi Kekayaan SDA Bangsa

Oleh: Defiyan Cori - Ekonom Konstitusi

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Frasa ini menunjukan bahwa terdapat “hak menguasai” yang dimiliki oleh negara, terhadap sumber daya alam yang terkandung di bumi, air dan yang terkandung di dalam wilayah Indonesia yang tidak bisa dialihkan ke pihak lain. Namun, frasa “dikuasai negara” ini dipolemikkan oleh berbagai pihak (terutama para scholar atau lulusan luar negeri) sehingga menimbulkan permasalahan pelik, yaitu apa yang dimaksud dengan “dikuasai negara”?

Apa bentuk hak penguasaan negara”? Bagaimana implikasi pengaturan “hak menguasai negara” terhadap politik ekonomi terhadap penafsiran dari ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 mengenai cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak? Lalu, muncullah sebutan monopoli sektoral yang dialamatkan secara tidak pantas oleh para lulusan luar negeri tersebut, barangkali disebabkan kekaguman mereka secara berlebihan atas praktek sistem ekonomi kapitalisme di negara demokrasi liberalisme.

*Mandat BUMN Terbagi*
Seharusnya tafsir *dikuasai oleh negara* ini merupakan mandat konstitusional kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak perlu ditafsirkan lagi oleh para pihak lulusan perguruan tinggi luar negeri (scholar) yang melihat praktek-praktek perekonomian negara maju. Apalagi, kalau memahami kesejarahan (historis) nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda dan asing lainnya, termasuk penguasaan ekonomi oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang monopolistik dulu di Indonesia.

Di Indonesia, justru monopoli BUMN itulah kemudian menjadi sasaran mereka atas mandat sah konstitusi ekonomi pasca reformasi dengan mundurnya Presiden Soeharto melalui sejumlah perubahan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Akibatnya, adalah setidaknya terdapat 28 unit BUMN yang telah dipecahbagikan (stock split) saham Negara melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) di pasar bursa, yaitu Bursa Efek Indonesia/BEI (dulu BEJ).

Tentu saja pasca diIPO-kan, maka sebagian saham BUMN itu telah menjadi milik publik, baik oleh perorangan, perusahaan swasta, lembaga lainnya dan juga orang atau perusahaan asing. Sebagian persentase saham publik itu, kemudian diperjualbelikan mengikuti ketentuan dan peraturan per-Undang-Undangan belaku serta proses dan mekanisme di BEI.

Sejarah IPO pertama kali dilakukan oleh BUMN, yaitu PT. Semen Gresik terjadi pada tanggal 17 Mei 1991 melalui keputusan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. S-622/PM/1991, lalu menerbitkan prospektus pada 20 Mei 1991. Dokumen prospektus saat itu menawarkan sejumlah 40 juta saham dengan harga per saham Rp7.000, mengincar dana publik sejumlah Rp280 miliar. Hasil perolehan dana publik atas aksi IPO itu digunakan untuk membangun pabrik semen baru di wilayah Tuban, Jawa Timur berkapasitas 2,3 juta ton per tahun dan optimalisasi pabrik II di Gresik untuk meningkatkan produksi dari 1 juta ton menjadi 1,3 juta ton per tahun.

Pertanyaanya, bukankah melalui aksi IPO ini justru proporsi kepemilikan saham Negara yang dikelola oleh pemerintah yang awalnya 100 persen telah berkurang hanya menjadi 73,1 persen saja? Sementara, sisa persentase lainnya telah dimiliki oleh publik sejumlah 26,9 persen tentu akan berdampak kepada Negara. Apalagi, pengaruh yang mendasar adalah dalam forum tertinggi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menentukan kebijakan strategis, program dan kegiatan perusahaan.

Sebagai contoh, porsi saham PT Semen Gresik (Persero) Tbk. per-Desember 2022 setelah menjadi BUMN PT. Semen Indonesia (setelah kebijakan Holding) menjadi 51,01% milik Pemerintah RI (Negara) dan 48,99% milik publik. Konsekuensi dari pemecahbagian saham Negara pada BUMN-BUMN tersebut, maka berdasarkan persentase saham yang dimiliki publik akan berakibat pada hak masing-masing pemegang saham atas kompensasi kinerja korporasi, termasuk pembagian dividen.

Begitu juga dengan BUMN-BUMN lainnya yang telah dipecahbagikan saham negaranya kepada publik, seperti PT. Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) yang merupakan subholding gas dari Holding BUMN Pertamina, PT. Aneka Tambang (Antam), PT. Garuda Indonesia, BUMN-BUMN Karya, PT. Jasa Marga dan lain-lain menunjukkan kinerja negatif. Lalu, pertanyaannya adalah apa manfaat dari IPO yang telah dijalankan itu bagi kepentingan keuangan negara? Jika maksud dan tujuan IPO untuk mencari dana murah mendukung permodalan perusahaan negara kenapa masih ada BUMN yang diberikan Penyertaan Modal Negara (PMN)?

Contoh lain dampak dari IPO BUMN, misalnya melalui logika kinerja rugi korporasi yang dialami oleh Garuda Indonesia pada tahun 2022. Maka, beban dan tanggungjawab proporsional kerugian korporasi ini juga diberikan kepada pemegang saham publik. Artinya, saham publik harus didelusi juga senilai Rp7,5 triliun jika tidak terlibat pendanaan kembali pada BUMN sebagai langkah menutup kerugian Garuda Indonesia. Dengan harga saham di bulan Desember 2022 sejumlah Rp196 per lembar, ada tambahan saham pemerintah sejumlah 38 miliar lembar lebih atau separuh lebih saham baru yang ditawarkan, yaitu, 68 miliar lebih.

Artinya, tanpa adanya delusi atau pengurangan saham publik (individu dan institusi) pada BUMN yang IPO tentu saja PMN merupakan tindakan moral hazard. Sebab, para pemegang saham non Negara (diwakili pemerintah) hanya menerima manfaat keuntungannya saja dari perusahaan atau BUMN. Sementara, dalam kasus perusahaan atau korporasi swasta para pemegang saham (shareholders) harus mengambil tanggungjawab secara proporsional atas kerugian yang dialami perusahaan. Tidak hanya saat perusahaan beroleh laba, lalu mengambil manfaat melalui pembagian dividen saja. Lalu, apa maksud dan tujuan serta manfaat IPO BUMN bagi negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia?

*Kenapa Harus IPO?*
IPO BUMN menjadi absah, setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 soal konsepsi dan mandat atas “hak menguasai negara”, dan menjadi yurisprudensi tetap (fasten jurisprudence), maka kebijakan IPO menjadi sebuah kebenaran konstitusional. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003,Nomor 002/PUU-I/2003, dan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 yang menafsirkan secara konstan “hak menguasai negara”, sebagai perbuatan merumuskan kebijakan (beleid), merumuskan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad ), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad).