Kemerdekaan Belajar di Masa Pandemi Covid-19 Agar Indonesia Bahagia

mendikbud

Hendri Nova
Wartawan topsatu.com

“Ma, ini ngak tahu jawabannya,” kata Khalid, salah satu siswa yang harus belajar di rumah karena Pandemi Covid-19 kepada mamanya.
Mamanya hanya diam, karena sedang berkonsentrasi mencarikan jawaban untuk anaknya yang duduk di kelas satu MTsN, lewat mesin pencari google.
“Mama ini…, Mbak terus yang dibantu, saya tidak.”
Khalid mulai merenggut dengan rengekkan khasnya. Ia mulai menghempas-hempaskan buku membuat suara berisik. Mamanya masih terlihat diam, mencoba tetap melayani anak pertamanya.
“Ma, ini jawabannya tidak ada di LKS,” kata Malika, anak ketiganya yang duduk di kelas IV SD.
Ia pun masih diam, karena soal matematika yang ia kerjakan untuk anak paling tua, belum juga ketemu jawabannya.
“Mamaaa… carikan jawabannya…”
Malika anaknya sangat cengeng. Ia pun mulai menangis sambil berguling-guling.
Sang mama mulai terlihat terganggu. Bias merah mulai tersirat di wajahnya, pertanda amarah yang mulai naik. Apalagi ditambah rengekan anaknya yang duduk di kelas I SD yang juga minta dibantu mengerjakan tugasnya.
“Abang… cepatlah mandi, sudah stres saya. Bantulah si Malika jawab pertanyaan Budaya Alam Minangkabau (BAM). Saya tidak mengerti jawabannya,” teriakannya pada sang suami yang masih di kamar mandi. Sang suami memang akan bersiap-siap untuk ke kantor.
Keluarga ini memang keluarga campur sari. Suaminya memang asli berdarah Minang. Sedangkan sang istri, keturunan Minang dari garis nenek.
Neneknya menikah dengan orang Banten dan dibawa merantau. Dari pernikahan ini lahir ibunya yang waktu itu mereka sudah pindah merantau dari Jawa ke Aceh.
Dari Aceh mereka pindah ke Binjai, Sumatera Utara. Disitulah sang ibu bertemu dengan jodohnya yang berdarah Jawa. Dari pernikahan ini lahirlah dia. Itu berarti ada darah Minang, Banten, dan Jawa yang mengalir dalam tubuhnya.
Pertemuannya dengan sang suami yang berdarah Minang, terjadi di Kota Padang. Setelah dewasa, ia memang memutuskan menikam jejak ke Ranah Minang dan akhirnya dapat jodoh orang Minang asli.
Di rumah, keluarga ini memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Ia sendiri yang meski sudah lama di Padang, masih belum fasih berbahasa Minang.
Pertimbangan lainnya memakai bahasa Indonesia, supaya sang anak bisa berkomunikasi dengan kakek neneknya yang masih tinggal di Binjai Sumatera Utara. Untuk bahasa Minang, mereka yakin anaknya bisa belajar langsung dari lingkungan sekitar.
Persangkaan mereka benar, karena kini anak-anaknya sudah mulai bisa bahasa Minang sepatah dua patah kata. Hal itu tidak lain karena di sekolah anak-anak juga berkomunikasi dengan bahasa Minang.
Sejak harus belajar di rumah karena Pandemi Covid-19 bagi daerah yang garis merah di Sumatera Barat, kerjanya jadi kian berat. Untung pihak sekolah mau mengerti, dengan tidak 100 persen belajar daring.
Jika 100 persen belajar daring, ia tak bisa membayangkan, bagaimana membagi satu smartphone untuk keempat anak-anaknya. Padahal, ada laporan vidio juga yang harus disetorkan pada masing-masing anak.
Anak-anak sendiri juga sulit diatur. Belajarnya ogah-ogahan. Dimarahi sedikit karena tidak serius, kalau tidak menangis, ya langsung ngambek.
Tak jarang sang Mama baru bisa masak setelah semua pekerjaan membantu belajar anak selesai. Telat makan akhirnya menjadi hal yang bisa bagi keluarga ini, sejak belajar daring diberlakukan karena Pandemi Covid-19.
Soal stres jangan ditanya. Sang Mama tampak semakin kurus, karena pekerjaannya jadi bertambah.
Beda dengan waktu anaknya masih sekolah tatap muka. Pagi-pagi setelah anak-anak diantar ke sekolah, menjelang Zuhur dan menjemput anak-anak kembali pulang sekolah, semua pekerjaan rumah sudah selesai ia kerjakan. Ia bahkan juga sudah berbisnis kue secara online. Tapi kini bisnisnya ikut terganggu, karena kelelahan fisik maupun jiwa.
“Bukan saya tidak betah mengajari anak-anak di rumah. Semua lebih dikarenakan pada tidak seriusnya anak-anak belajar bersama saya. Beda kalau belajar dengan gurunya, dimana setiap mata pelajaran diajari oleh guru berbeda. Anak-anak jadi tidak gampang bosan, serius, dan mereka lebih patuh, karena takut dimarahi guru di depan teman-temannya,” kata Febri, mamanya anak-anak ini.
Menurutnya, anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) belum siap untuk bekajar secara online. Mereka masih butuh bersosialisasi dan bimbingan dari berbagai macam guru.
Mereka harus dikuatkan dulu pondasi akhlak dan keimanannya, agar tahu mana baik dan buruk, patut dan tak patut. Jika mereka sudah bisa membedakan, maka mereka baru siap dilepas untuk mencari ilmu di dunia maya.
“Saya jadi ngeri sendiri dengan anak-anak yang terpapar pornografi sejak dini. Makanya mereka harus saya awasi secara ketat, saat memegang smartphone,” tambahnya.
Apa yang dialami Febri dengan keempat anaknya, juga banyak dialami orang tua siswa di seluruh Indonesia atau mungkin juga di dunia. Dunia yang sedang dilanda Pandemi Covid-19 membuat manusia harus banyak di rumah dan menghindari kerumunan.
Anak-anak yang belum saatnya belajar mandiri, kini dipaksa harus mandiri. Orang tua jadi tidak produktif, karena harus fokus mengurus dan mendidik anaknya di rumah.
Jika waktu belajar tatap muka banyak kaum ibu yang produktif menghasilkan uang untuk membantu ekonomi keluarga, kini waktunya tersita untuk mendidik putra-putrinya di rumah. Ekonomi jadi sulit dan uang pun jadi semakin sulit didapat.
Tidak adanya kepastian kapan Pandemi Covid-19 akan berakhir dan belum adanya vaksin yang diakui keampuhannya, membuat segala sesuatunya jadi tidak pasti. Bahkan ada yang mengatakan bisa sampai 2021 ataupun 2022.
Jika ihi yang akan terjadi entah apa yang akan berlaku bagi generasi yang akan datang. Mereka akan menjadi generasi yang minim sosialisasi dan tingkat keegoannya sangat tinggi.
Mereka adalah hasil dari produk ketidakmerdekaan dalam belajar. Mereka hanya bisa belajar dari orang tua dan guru hanya sebatas pemberi nilai bagi mereka.
Generasi Pandemi Covid-19 tentu akan menjadi generasi berbeda, dengan generasi sebelum ataupun yang datang sesudah mereka. Mereka telah kehilangan masa dididik dari berbagai karakter guru yang seharusnya mereka dapatkan.
Sudah sepatutnya dicarikan jalan keluar untuk mengatasi situasi yang ada saat ini. Belajar dengan sistem sekarang dengan mengandalkan orang tua, membuat anak kehilangan masa belajar dari banyak guru.
Harus diciptakan situasi yang membuat anak kembali menikmati kemerdekaan belajar bersama guru-gurunya. Situasi tersebut tentu tetap memperhatikan dan menjalankan protokol kesehatan.

Tentang Merdeka Belajar

Merdeka Belajar seperti dikutip dari id.wikipedia.org adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim.
Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi.
Sistem pengajaran akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking.
Sistem rangking menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat.
Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia, tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.
Sementara dikutip dari gtk.kemdikbud.go.id, merdeka belajar yang dimaksud dalam Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim dalam memperingati Hari Guru Nasional (HGN) viral sejak dirilis ke publik pada Jumat (22/11/2019) artinya unit pendidikan yaitu sekolah, guru-guru dan muridnya punya kebebasan. Kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif.

Merdeka Belajar

Dari keterangan yang dikatakan Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim, jelas satu niat yang baik dan harus didukung aplikasinya di dunia nyata. Namun sayangnya, niat ini tidak kesampaian di 2020, karena tak disangka terjadi Pandemi Covid-19 hampir di seluruh dunia.
Jangankan untuk belajar di luar kelas, belajar dalam kelas pun tidak dibolehkan. Anak-anak harus belajar di rumah dengan orang tua masing-masing.
Bagi orang tua yang bekerja, rela tak rela terpaksa menyerahkan penggunaan smartphone tanpa pengawasan untuk anak-anaknya. Tak heran kemudian muncul berita, adanya anak-anak yang terpapar pornografi sejak dini.
Pemerintah yang tidak memiliki konsep belajar tatap muka selama pandemi, jadi kelabakan dan meminta anak-anak untuk belajar di rumah saja. Pemerintah lupa, ada banyak anak-anak yang memiliki orang tua super sibuk, karena kedua-duanya bekerja.
Pertemuan mereka dengan anak-anak hanya terjadi malam hari. Itupun kalau mereka tidak lelah, baru bisa mengajari anak-anaknya.
Belum lagi orang tua yang tidak memiliki kemampuan mendidik, karena ilmu yang ia miliki terbatas. Tak jarang anak-anak punya orang tua hasil dari putus sekolah. Ada orang tua yang tidak pandai membaca, apalagi untuk menguasai ilmu-ilmu anak sekolah.
Akhirnya ada anak-anak yang dibiarkan mencari cara selamat sendiri. Ada yang berusaha belajar sama teman-teman yang akhirnya berkumpul juga.
Bagi orang tua yang punya uang, ia memasukkan anaknya les. Ada beberapa anak yang ikut les, akhirnya berkumpul juga.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera berpikir menghadirkan kembali kelas tatap muka aman di musim Pandemi Covid-19. Karena jika situasi seperti sekarang dibiarkan, kemerdekaan belajar tidak akan terwujud yang terjadi malah menjadi penyimpangan belajar.
Anak-anak jadi kecanduan game online ataupun pornografi. Ini tentu akan merugikan Indonesia di masa datang, karena akan terjadi kehilangan satu generasi.
Semoga saja, dengan banyaknya ahli pendidikan, ahli tata ruang, dan ahli kesehatan di Indonesia, kemerdekaan belajar kembali terwujud sehingga Indonesia kembali bahagia. Baik belajar dalam ruangan, maupun belajar di luar ruangan. Aaamiiinnn… (*)