Jangan Ada Sejengkal Tanah pun Luput dari Perlindungan Anak

Jasra Putra. (ist)

PADANG—Jangan sampai ada sejengkal tanah pun di NKRI yang luput dari perlindungan anak. Untuk itu, perlu adanya UU yang mengatur pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD).

“KPAI sedang berupaya melakukan judicial review (JR) atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kita ingin memastikan, mekanisme pengawasan dan pencegahan kasus-kasus anak sampai tuntas di tingkat bawah,” tegas Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang membidangi hak sipil dan partisipasi anak Jasra Putra, Rabu (22/1), kepada topsatu.com.

Jasra menyebut, dengan JR itu pihaknya berharap, ada kewajiban membentuk KPAD di daerah-daerah, karena daya jangkau KPAI terbatas, bila dibanding dengan luasnya wilayah Indonesia dan kompleksnya permasalahan perlindungan anak beberapa waktu belakangan.

“Saya kira peran serta masyarakat dan lembaga cukup besar selama ini, hanya saja, negara perlu meningkatkan kewenangan dalam melindungi kerja kerja mereka. Untuk itu fungsi KPAI bisa diperluas sampai tingkat bawah, dengan membentuk KPAD,” tuturnya.

Jasra menyebut contoh peristiwa kekerasan seksual yang dialami sebelas anak di Tulungagung. Kebutuhan anak yang harusnya dapat dipenuhi para pelindungnya, sebut dia, jatuh kepada pedagang kopi yang tidak bertanggung jawab. Karena pelaku menghilang, polisi melaksanakan pencarian besar-besaran.

Sayangnya, kata lelaki asal Maligi Pasaman Barat itu, dua pekan dicari polisi, pelaku dengan inisial H bisa tinggal berpindah-pindah, salah satunya di tempat MI, sang juragan toko kopi yang akhirnya tertangkap.

“Sikap permisif dalam melihat kasus kekerasan dan kejahatan seksual masih menjadi momok yang berat di masyarakat. Untuk itu deteksi dini di tingkat RT dan RW sangat penting, karena secara administratif mereka memahami warga yang tinggal di sekitarnya. Tentu dengan tanpa menstigma, tetapi menjalankan mekanisme pencegahan dan pengawasan secara administratif,” katanya.

Dia menjelaskan, kondisi anak yang terpapar LBGT dan kasus-kasus anak lainnya, baik sebagai korban maupun pelaku, dalam data aduan KPAI dari tahun 2016-2019 sebanyak 126 kasus.

“Namun saya juga sering dapat laporan, keluarga-keluarga yang berkonsultasi melalui hotline tentang anak-anak yang dikhawatirkan tumbuh kembangnya karena kondisi tersebut, seiring dengan meningkatnya ragam, motif, model kejahatan, kekerasan yang melibatkan anak dan perlakuan salah anak. Termasuk di jejaring media sosial,” tuturnya.(Musriadi )