Agam, Ragam  

Idris, 40 Tahun Mengajar dengan Empati Tinggi

Idris, 70 tahun guru ngaji berempati tinggi. Ist

LUBUK BASUNG-Pembawaannya sangat ceria, wajah berbinar cerah, senyum selalu menghiasi bibir ketika bercerita tentang pendidikan. Dia adalah seorang guru ngaji di Sungai Batang, Pak Idris nama beliau, kini telah usia 73 tahun, namun kelihatan masih sehat, kuat dan bersemangat.

Di Sungai Batang Pak Idris adalah seorang yang menginspirasi, dalam usia senja nya Idris masih menjadi guru. Beliau guru yang empati , kini masih aktif di Madrasah Tsanawiyah Sungai Batang.

M.Ts Muhammadiyah Sungai Batang adalah Sekolah Swasta berbasis agama yang didirikan tahun 1975. Sebelum menjadi Tsanawiyah, Perguruan ini namanya Ihya Ulumudin. Perguruan itu didirikan tahun 1908.

Tokoh pemuda setempat Rudi Yudistira mengatakan, di gedung inilah tokoh tokoh reformis Islam Indonesia dengan organisasinya Muhammadiyah yang didirikan Yogjakarta tahun 1912 mengadakan pertemuan pertama. Mereka adalah H. Abdul Karim Amrullah (Inyiak DR), Yusuf Amrullah, AR.St.Mansur, yang terakhir adalah ipar buya Hamka.

Di sekolah itulah Idris menjadi guru. Dia mulai jadi guru ngaji di Sungai Batang tahun 1983. Menurutnya dia diminta datang ke Sungai Batang oleh tokoh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan guru ngaji yang langka saat itu. Dia ke Sungai Batang tidak sendirian, teman Dasri yang juga guru mengaji di Sungai Batang

“Saya ke sini diminta untuk jadi guru ngaji. Maka bersama isteri merantau lah saya ke sini, dan sekarang kami menjadi warga Sungai Batang, termasuk pak Dasri” kata Idris.

Sejak menjadi guru, sudah ribuan murid yang dilepas oleh Idris.

“Alhamdulillah mantan murid saya sangat banyak, dan banyak pula yang sudah jadi orang” kata Idris.

Kata Idris, hubungan dengan mantan muridnya sampai saat ini masih terjalin dengan baik. Artinya, Idris dicintai oleh murid muridnya.

Kunci keberhasilan sebagai guru kata Idris adalah dengan memperlihatkan rasa empati kepada murid. “Caranya kita tidak mengukur kemampuan murid dengan kemampuan kita, bahkan sesama mereka kita tidak boleh membandingkan kemampuan murid” ujar Idris.

Prinsip lain yang dipegang oleh Idris, adalah tidak memandang murid yang lemah daya tangkapnya dengan sebutan bodoh.

“Prinsipnya tidak ada boleh anak yang kita anggap bodoh ” katanya lagi.

Tentang keempatian Idris, diakui oleh Ramadhani, Kepala Tsanawiyah Muhammadiyah yang juga mantan murid Idris.

“Memang beliau sangat baik, tidak pernah marah dan mengajar kami sampai kami bisa menguasai yang beliau ajarkan. Kami belajar Alquran dan hadist disuruh menghafal” katanya. (M.Khudri)