Deklarasi Ragusa Pariaman Raya, dari Kain Kafan Hingga Dorongan Hak Angket

Deklarasi Ragusa Pariaman Raya dan diskusi politik di Cafe Pala Lada Kota Pariaman, Sabtu (25/11). (ist)

PADANG – Puluhan generasi muda Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman sepakat bergerak dan berjuang tegak lurus dengan konstitusi bersama Relawan Ganjar Mahfud untuk Sumbar (Ragusa) Pariaman Raya .

Hal itu dideklarasikan di Cafe Pala Lada Kota Pariaman, Sabtu (25/11), yang dihadiri Koordinator Ragusa Sumbar, Muhamad Jamil dan jajaran lainnya. Sementara Yosrian disepakati sebagai Koordinator Ragusa Pariaman Raya. Sebelumnya deklarasi serupa sudah dilakukan di tingkat Sumbar, Kabupaten Pesisir Selatan, Agam dan Bukittinggi.

Seperti di daerah lain, kegiatan tersebut juga dirangkaikan dengan diskusi politik. Muhamad Jamil didapuk sebagai narasumber pada diskusi dengan tema ‘Kain Kafan Demokrasi’ itu.

Di hadapan generasi muda Pariaman dan Padang Pariaman ini, Founder Gerakan Dangau Institute tersebut memaparkan, Minangkabau memiliki konsep demkrasi tigo tungku sa jarangan, tigo tali sapilin; ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai.

Konsep ini sudah menjadi bahagian sistem norma di Minangkabau jauh sebelum Montesquieu mengusung Trias Politica; yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Ninik mamak memiliki wilayah kekuasaan memproduksi dan mengawasi undang-undang dalam konteks kehidupan nagari. Adat nan ba kalian dalam, nan bagantuangkan tinggi, atau lebih dikenal cupak buatan.

Permufakatan ninik mamak menjadi arah dan pedoman yang harus dijalankan oleh cadiak pandai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. “Ada nagari yang memahami bahwa cadiak pandai dianalogikan sebagai sumando. Dalam menjalankan peran sebagai sumando, ada istilah capek indak buliah daulu, lambek nan indak buliah kudian. Dalam hal ini sumando harus melaksanakan segala hak dan kewajibannya harus di dalam koridor undang-undang dan sistem norma yang berlaku. Di sisi yang lain, alim ulama merupakan lembaga yang mewakili “kesucian Tuhan” dengan menjadikan lembaga ini sebagai suluah bendang dalam nagari,” katanya.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi dalam perspektif adat Minangkabau merupakan alim ulama yang menjadi suluh bendang dalam nagari, di mana posisi kontrol dan penegakkan hukum, serta keadilan harus selalu di kedepankan. Tibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan, inilah seharusnya yang dilakukan oleh hakim konstitusi dalam mengadili berbagai perkara yang ada.

Jika ini dijalankan dengan baik, maka ketaatan masyarakat akan hukum menjadi lebih tinggi karena mereka mendapatkan penerangan dan contoh teladan yang baik dari Lembaga yang bermartabat. “Akan tetapi, alah bagalanggang mato urang banyak, alah basuluah matohari, bahwa pasca putusan MKMK terbukti bahwa Mahkamah Konstitusi yang seharusnya suci kemudian ‘diperkosa’ oleh kepentingan dinasti. keputusan MK yang cacat moral dan etika merupakan “kain kafan” untuk demokrasi yang selalu kita junjung tinggi,” ulas Jamil.

Campur tangan cadiak pandai dalam berbagai lapisan kekuasaan ibaratkan sumando kacang miang, yaitu sikap dan perilaku seorang sumando yang tak pantas, hingga menjadi aktor di balik drakor putusan alim ulama. Seharusnya, ada lembaga ninik mamak yang menjadi harapan dari sikap tak pantas dan tak terpuji itu dengan menggalang hak angket. Mengusut tuntas perilaku cadiak pandai dan alim ulama dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat dalam sistem negara demokrasi.

“Ada satu harapan lagi bagi kita rakyat Indonesia untuk kembalikan martabat lembaga yang ternoda ini adalah dengan berjuang tegak lurus konstitusi bersama orang-orang yang teruji dengan pengalaman di tiga lembaga tersebut. Berdiri Bersama Prof Mahfud MD, berarti kita sudah tegak lurus dengan konstitusi,” tegasnya. (mat)