Deklarasi Ragusa di Sijunjung, Jamil Nilai Sikap Jokowi Sumbang

Suasana Deklarasi Ragusa dan diskusi pemuda di sebuah kafe di Muaro Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. (ist)

PADANG – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang membolehkan dirinya memihak kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dinilai sangat mengejutkan dan menambah luka banyak pihak.

“Baru saja luka rakyat akan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 90, sekarang malah terang-terangan mendukung pasangan calon presiden yang notabene anaknya sendiri,” ujar Koordinator Relawan Ganjar-Mahfud untuk Sumatera Barat (Ragusa), Muhamad Jamil pada diskusi “Etika dan Moral Pemimpin Bangksa: Perspektif Kearifan Lokal Minangkabau”.

Diskusi itu rangkaian Deklarasi Ragusa Sawahlunto, Sijunjung dan Dharmasraya yang digelar di sebuah kafe di Muaro Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Kamis (25/1/2023).

Di hadapan ratusan relawan dari tiga kabupaten itu, Jamil menegaskan, Saat putusan MK yang meloloskan sang anak, publik sudah mulai tidak percaya dengan pemerintahan, dan sekarang menunjukkan otoriterian baru dalam kekuasaan yang sesungguhnya dititipkan oleh rakyat kepadanya. “Negara hukum yang dicita-citakan selama ini dalam beberapa detik berubah menjadi negara kekuasaan,” katanya.

Pertanyaan sekarang kata pria yang menyandang gelar doktor itu, bukanlah apa yang dilakukan oleh Joko Widodo sesuai dengan undang-undang dan aturan yang berlaku, melainkan hal ini merupakan persoalan etika dan moral seorang pemimpin bangsa yang jauh melebihi hukum dan aturan tersebut. “Rakyat mengharapkan presiden menjadi seorang negarawan yang mementingkan rakyatnya ketimbang kepentingan segolongan orang apalagi kepentingan keluarganya,” tuturnya.

Sosok yang menjadi solusi bagi semua persoalan negara, bukan malah menambah masalah dalam negara. Dalam adat Minangkabau, perbuatan Jokowi ini termasuk dalam perbuatan sumbang. Sumbang adalah perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan meskipun itu boleh dalam aturan. Contoh sederhananya adalah ketika melakukan shalat, sahnya shalat tersebut adalah ketika terpenuhi rukun dan syarat.

“Syarat shalat itu bagi laki-laki adalah menutupi aurat yaitu antara lutut hingga pusat. Namun, ketika seorang laki-laki menjadi imam sementara ia hanya menutupi sebagaimana aturan tersebut, akan menjadi salah bagi para makmumnya. Kenapa, karena ada adab yang melekat pada aturan tersebut. Adab dalam konteks ini kita sebut dengan etika,” lanjut Founder Gerakan Dangau Institute itu.

Dalam perspektif hukum adat Minangkabau, sumbang selalu disandingkan dengan salah. Jika perbuatan itu masih dinilai sumbang, konsekuensinya adalah memberi nasehat, sedangkan perbuatan yang salah (menurut hukum) baru kemudian dibawa ke ranah pengadilan atau ranah hukum yang berlaku. Persoalan sekarang siapa yang akan memberi nasihat Jokowi?

Sementara dalam tindakannya telah menjadi penguasa negara ini. Buktinya adalah anjuran untuk debat paslon presiden dan wakil presiden yang disorot paling tidak beretika adalah putranya sendiri, sekaligus membuktikan bahwa sesuatu yang lahir dari pelangaran etika, akan melahirkan perbuatan lain yang juga tidak ada etikanya.

“Biasanya, perbuatan sumbang itu condongnya akan melakukan perbuatan salah. Pepatah Minang mengatakan; apobilo tampuak alah maranggang, lamo ka lambek ka jatuah juo, dek hati dipaliang Allah, dek mato dipaliang setan, ta awai di nan bukan ta kaca di nan salah (apabila tampuk sudah merenggang, lama kelamaan dia kan jatuh, karena hati dipalingkan Allah SWT, karena mata dipalingkan setan, teraba yang bukan-bukan, tergenggam yang salah). Kita meyakini bahwa calon pemimpin bangsa yang diendors oleh Jokowi seperti ini suatu saat akan membayakan bagi negara dan peradabannya. Berdasarkan adat Minangkabau, pasangan ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi kepentingan negara,” ulasnya.

Lantas apa yang dilakukan oleh Jokowi untuk memperbaiki perbuatan sumbang ini? Cuti selama proses pemilu untuk memastikan netralitasnya sebagai negarawan. Siapa yang dapat menjamin kalau fasilitas negara tidak digunakan untuk kepentingan paslon yang didukungnya?

Terkait dengan sumpah presiden, tentu saja kita serahkan kepada pakar-pakar hukum yang berkompeten di bidangnya untuk mendiskusikan, apakah presiden Jokowi telah melanggar sumpah yang telah dua kali diucapkannya, atau tidak. Karena ini akan berpotensi akan diuji di Mahkamah Konstitusi kembali. Jika ini penghukuman dari legislatif, tentu saja ada kemungkinan pemakzulan akan terjadi. (mat)