UBAH LAKU; Botol Infus Banyak,  Obat tak Berjarak

 Vinna Melwanti saat menjalani perawatan Covid-19. (ist)

Oleh Vinna Melwanti

SAYA dirawat dengan kapasitas untuk 3 pasien.  Di sini, di ruangan yang sepi. Tak ada sesiapa. Yang ada mikrofon dan CCTV. Langit-langit putih, kaca tembus pandang tanpa tirai sebagai pengganti dinding dipasang mati. Seperti tahanan namun bak aquarium bisa dipandang dari luar.

AC kembali menusuk. Badan saya tetap basah. Kerongkongan kering, bibir pecah. Batuk bertalu-talu. Dada perih, nafas tersengal, amat sesak. Lalu pengecap rasa hilang. Lengkap sudah ciri-ciri covid.

Oksigen yang terpasang statis di dinding harus 24 jam terpasang di hidung. Karena itu, saya takkan bisa turun ranjang. Maka, kini saya pakai kateter dan pampers. Pertama dalam sejarah hidup. Perawatan pasien Covid ternyata memang intensif, di luar dugaan.

Infus saya ditambah. Obat-obatan diberi tanpa jarak. Tensi diukur, detak jantung, dikeker berulang-ulang. Suhu tubuh. Semua. Ditanyai, apa yang terasa. Suster mencatat. Jika ada 3 orang berbaju hazmat datang, itu dokter.  Dokter umum, atau dokter spesialis. Pasien diperhatikan sejak pukul 06.00 sampai pukul 01.00. Bahkan menjelang subuh pun mereka datang ke ruang perawatan kembali mencatat tensi, suhu dan saturasi darah.

Namun kadang dokter masuk hanya lewat speaker pengeras suara kamar. “Pagi Ibu Vinna, saya dokter Anda bagaimana kondisi ibu hari ini?” Suaranya terdengar lantang dari intercom yang dipasang di atas dinding. Tapi, saya agak susah menjawabnya sebab suara saya parau. Saya jawab saja sekuat yang bisa. 

Saya juga harus jeli membedakan, suster, pria, wanita, dokter, pemberi makanan, tukang sampah atau pembersih kamar. Ini, karena pakaian mereka sama. Putih dan menutupi sekujur tubuh, tak terlihat perbedaan profesi karena seragam. Pandangan mereka pun terhalang karena kacamata tukang las itu, berembun pula.

Hari berikutnya kondisi saya malah kian memburuk. Saturasi darah saya menunjukkan, 80 persen, sehingga saya membutuhkan oksigen bukan di hidung lagi tapi di mulut. Batuk kian berdarah padahal saya tak ada riwayat TBC, jantung, paru. Saya pasrah, tak boleh menangis, tapi ambruk ketika dokter menyebut saya harus masuk ICU. Air mata berderai, jatuh menimpa badan saya. Saya berusaha menolak, tapi dijelaskan dengan rinci. ICU itu berbeda dengan kamar perawatan. Ini satu ruangan untuk satu pasien.