“People power” Akhirnya akan Mencari Legitimasi Konstitusional

www.merdeka.com

Dalam kasus people power tahun 1998, Presiden Suharto juga didesak mundur karenadianggap terlalu lama berkuasa dan melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Demo besar-besaran di Jakarta dan juga kerusuhan Mei 1998, pada akhirnya memaksa Presiden Soeharto “menyatakan berhenti” dari jabatannya dalam sebuah pidato di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1998. Seketika setelah menyampaikan pidato itu, Wakil Presiden BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung yang hadir lengkap pada waktu itu.

Dari uraian sejarah di atas, dilihat dari sudut hukum tata negara, apa yang dilakukan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan dan Kolonel Moammar Ghaddafi di Libya dapat dikategorikan sebagai suatu kudeta, yakni pengambil-alihan kekuasaan secara revolusioner dengan menggunakan cara-cara di luar konstitusi yang berlaku. Revolusi yang berhasil, dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang sah. Jika pemimpin revolusi berhasil mempertahankan kekuasaannya yang baru, maka kekuasaan baru itu menjadi sah secara konstitusional, meskipun awalnya mereka mengambil alih kekuasaan melalui cara-cara inkostitusional. Namun kasus runtuhnya kekuasaan Marcos, Soekarno dan Soeharto yang terjadi bukan karena revolusi, tetapi terjadi melalui people power, maka penguasa baru sesungguhnya memerlukan legitimasi konstitusional untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan norma-norma konstitusi yang berlaku di sebuah negara ketika itu.

Pergantian Soekarno ke Soeharto dan pergantian Soeharto ke BJ Habibie berjalan
secara konstitusional. Sangat sulit untuk membayangkan pada sebuah negara demokrasi, ada penguasa yang memegang kekuasaan dan menjalankan roda pemerintahan, sementara konstitusionalitas pemerintahannya terus-menerus dipertanyakan. Pemerintahan yang tidak didukung oleh basis konstitusional yang sah, tidak akan pernah mampu menciptakan pemerintahan yang normal. Kalau itu terjadi, maka lama kelamaan penguasa baru ini akan menjadi diktator baru yang berpotensi mendorong terjadinya kudeta atau people power sekali lagi untuk memaksa mereka turun dari tampuk kekuasaan.

Dalam kasus Marcos, walaupun awalnya didesak dengan people power, namun pada akhirnya Marcos diberhentikan secara konstitusional dari jabatannya berdasarkan Konstitusi Philipina yang berlaku ketika itu. Ny Corazon Aquino yang ditetapkan sebagai Presiden menggantikan Marcos, juga dilakukan secara konstitusional, sehingga tidak ada pihak yang mempertanyakan keabsahan pemerintahannya. Sejak itu keadaan di Philipina berangsur-angsur normal kembali.

Pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno yang sebelumnya telah ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden Seumur Hidup, pada akhirnya juga sulit untuk bertahan akibat desakan mundur pasca peristiwa G-3O S. Proses pemberhentian Presiden Soekarno memerlukan waktu sedikitnya hampir dua tahun, hingga akhirnya pada tahun 1967, MPRS mencabut TAP tentang pengangkatan beliau sebagai “Presiden Seumur Hidup” yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Seperti telah saya katakan di atas, Presiden Soekarno juga dimintai pertanggungjawaban oleh MPRS dan ditolak, dan atas dasar penolakan itu beliau diberhentikan sebagai Presiden RI. MPRS akhirnya menetapkan “pengemban” Supersemar Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Terlepas dari persoalan rekayasa politik dari kalangan militer atas proses pemberhentikan Presiden Soekarno dan pengangkatan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, namun semua proses itu berjalan secara konstitusional. Demikian pula pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie padatahun 1998, walaupun awalnya didesak melalui people power, namun akhirnya proses pergantian itu mencari bentuk konstitusionalnya.

Awalnya, Presiden Soeharto dipilihkembali oleh MPR untuk kesekian kalinya dalam Sidang Umum MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung normal, apabila Presiden Soeharto ingin berhenti dari jabatannya, maka proses itu harus melalui MPR. Namun karena desakan people power, Gedung MPR/DPR di Senayan kala itu dikuasai oleh para demonstran, MPR hampir mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR No. VII/1973 Presiden Soeharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana Negara tanggal 22 Mei 1998.

Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden RI. Beberapa waktu setelahnya, memang terdapat polemik akademik terkait masalah konstitusionalitas, yang ketika itu saya hadapi berdua dengan guru saya almarhum Prof. Dr. Ismail Suny. Hingga pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya pada tahun 1998 menyatakan bahwa proses berhentinya Presiden Soeharto dan pergantiannya dengan BJ Habibie adalah sah dan konstitusional. Putusan itu berkekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, karena gugatan para penggugat yang menamakan dirinya “100 Pengacara Reformasi” ditolak oleh PN Jakarta Pusat dan
mereka tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.

Dari kasus people power terhadap Marcos, Soekarno dan Soeharto yang saya uraikan di atas, nyatalah bahwa apa yang dinamakan people power itu berbeda dengan revolusi. People power pada akhirnya selalu mencari legitimasi konstitusional pergantian rezim berdasarkan aturan-aturan konstitusi yang ketika itu berlaku di suatu negara. People power selalu mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi. Sedangkan revolusi sesungguhnya tidak mencari legitimasi konstitusional berdasarkan norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi justru mengambil alih kekuasaan dengan cara di luar konstitusi. Revolusi yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan penguasa baru yang legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi pemimpin revolusioner.

Persoalan Kita Sekarang

Keinginan melakukan people power yang terdengar lantang pasca Pemilu Serentak,
khususnya pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) disuarakan oleh beberapa aktivis yang ada, diantaranya sudah diproses pidana oleh polisi sebagai tersangka rencana perbuatan makar berdasarkan KUHP dan/atau melakukan ucapan-ucapan yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Faktor-faktor yang melatar-belakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto, pada hemat saya nampaknya tidak ada. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima tahun dalam periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional berhak untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua. Walaupun tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama menjalankan pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Soekarno dan Soeharto. Jokowi juga belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan Soeharto serta keluarga dan kroninya. Lantas kalau demikian, apa urgensinya melakukan people power?