Mitigasi Dampak Pandemi yang Berpihak Pada Anak

Ria Oktorina
Perencana Muda Bappeda Provinsi Sumatera Barat/
Relawan Keluarga Kita (Rangkul) Padang

Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh setiap tanggal 23 Juli diperingati untuk menjadi momen mengajak segenap masyarakat Indonesia agar dapat mengambil peran dan berpartisipasi dalam menjamin pemenuhan hak-hak anak. Seperti hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam pembangunan, dan yang paling penting mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Peringatan HAN kali ini menjadi sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, disebabkan pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia, dan telah menyebabkan perubahan signifikan pada tatanan kehidupan masyarakat. Dampak pandemi yang berimplikasi pada masyarakat Indonesia, mau tidak mau juga terdampak besar pada anak sebagai salah satu kelompok rentan.

Sehingga tema yang diangkatpun menyesuaikan situasi pandemi yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” denganTagline #AnakIndonesiaGembiradiRumah.

Ada banyak permasalahan terhadap anak yang muncul sejak pandemi COVID-19. Anak-anak yang harus dirumah saja, mengalami banyak tekanan psikologi karena ruang gerak yang terbatas. Kesempatan lebih banyak bersama orang tua justru menimbulkan permasalahan baru karena lemahnya kemampuan orang tua mengelola emosi dirinya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa selama pandemi, terjadi peningkatan kekerasan verbal pada anak sebesar 62 % dan kekerasan fisik sebesar 11 % (Retno Listiyarti, 2020). Belum lagi proses pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan anak melakukan aktivitas pendidikan dari rumah. Keterbatasan fasilitas pendukung juga menyebabkan banyak anak mendapatkan tekanan karena tidak maksimal melakukan pembelajaran di rumah.

Disisi lain, ada anak-anak yang belum mampu belajar secara mandiri, dan butuh pendampingan sedangkan orang tua tidak siap menjadi guru di rumah. Kondisi ini menjadi lebih menantang saat orang tuanya sudah mulai bekerja di masa new normal. Di masa pandemi, juga banyak anak yang lebih tinggi intensitasnya pada gawai dan dunia digital, yang juga menimbulkan kekhawatiran tentang kecanduan jika tidak di manajemen dengan baik.

Anak adalah individu yang tidak mampu membela dan melindungi dirinya sendiri, sehingga perlindungan anak harus menjadi perhatian semua pihak. Baik orang tua yang dibebani tanggung jawab atas anak untuk hidup dan tumbuh kembang, masyarakat sekitar sebagai orang dewasa di sekitar anak dan negara untuk memastikan menggunakan segenap sumberdayanya untuk melindungi anak-anak.

Lingkungan di sekitar anak baik keluarga, pendidikan dan lingkugan sosial kemudian berpengaruh pada pembentukan karakter anak. Maka dari itu semua pihak harus turut terlibat dan berpihak pada anak. It’s take a village to raise a child.

Sebaga alternatif saran memitigasi dampak yang mungkin terjadi paska pandemi terhadap anak, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan juga kita semua sebagai warga masyarakat.

Pertama, mendorong pengarusutamaan pengasuhan berbasis keluarga dalam kebijakan pendidikan secara berkelanjutan. Salah satu fakta yang menarik namun cukup disayangkan, tentang diskusi yang berkembang seolah orang tua harusnya tidak terlibat pendidikan anak. Ada pendapat orang tua yang merasa kewalahan mendampingi anak, dan ingin sekolah segera dibuka padahal dari aspek kesehatan belum bisa dilakukan.

Padahal, pandemi COVID-19 adalah momentum untuk mengintegrasikan pranata keluarga dalam sistem pendidikan kita (Robet, 2020). Pengalaman penulis menunjukan bahwa situasi pandemi yang menjadikan orang tua fasilitator belajar anak di rumah memang membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah. Namun dengan bekal ilmu pengasuhan dan berbagi pengalaman dari komunitas sesama orang tua, maka pendampingan belajar yang disesuaikan dengan sifat bawaan dan kebutuhan anak secara personal akan lebih mudah dilaksanakan.