Ragam  

Lomba Kritik Sastra “Dunia Puisi Taufiq Ismail” Digelar

PADANG – Dalam rangka merayakan 88 Tahun Taufiq Ismail, Majalah Sastra Horison, Rumah Puisi Taufiq Ismail, dan Himpunan Senk Budaya Islam (HSBI) menggelar lomba kritik sastra “Dunia Puisi Taufiq Ismail”. Naskah diterima panitia dalam rentang waktu 11 Maret hingga 21 Mei 2023.

“Perlombaan ini bebas diikuti oleh siapapun, mari ikut beramai-ramai,” ujar koordinator pelaksana, Nissa Rengganis.

Peserta lomba tak dibatasi usia atau persyaratan lainnya. Lomba pun terbuka untuk warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA).

Dia mengatakan peserta lomba wajib memilih salah satu sampai tiga puisi Taufiq Ismail untuk dijadikan objek kritik sastra. Namun puisi yang diambil haruslah berasal dari buku karya Taufiq Ismail, bukan dari buku sumber lain, semisal antologi.

“Diwajibkan pula menyertakan data publikasi puisi yang dipilih tersebut. Silakan kirim naskahnya ke lombakritiksastrati2023@gmail.com,” katanya lagi.

Panitia pelaksana telah menyediakan sejumlah hadiah untuk pemenang lomba, yakni Rp 10 juta untuk juara I, Rp7,5 juta untuk juara II dan Rp5 juta untuk juara III. Ditambah pula masing-masing akan mendapatkan paket buku dan DVD.

“Ada pula 20 pemenang harapan yang akan mendapatkan Rp500 ribu dan juga paket buku dan DVD,” paparnya.

Nissa menambahkan semua naskah lomba yang masuk nantinya akan dinilai oleh para juri yang berasal dari kalangan penyair, kritikus dan akademisi.

Panitia akan mengumumkan pemenang lomba pada 25 Juni 2023 di Jakarta dan akan pula disiarkan pengumumnya melalui media sosial.

Dia memaparkan, Taufiq Ismail merupakan salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia. Ia lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Selama masa hidupnya, ia dedikasikan untuk puisi, sastra dan budaya.

Sejak awal tahun 1950-an, karya-karyanya sudah menyebar di berbagai majalah sastra terkemuka.

Nissa menambahkan, tampilnya Taufiq Ismail sebagai penyair penting Angkatan 66 menegaskan kiprah kepenyairannya
dalam perjuangan bangsa. Puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng (1993) merupakan kesaksian sejarah seorang penyair ketika menghadapi berbagai peristiwa sosial-politik-budaya. Puisi-puisinya menjadi rekaman peristiwa dan saksi bicara zamannya.