DISKUSI PENGARANG BUKU ON DANGEROUS GROUND; Amerika Serikat Tidak Tinggalkan Laut Cina Selatan

Senior Fellow and Director Center For Strategic and International Studies, Gregory Poling, Penulis buku 'On Dangerous Ground: America’s Century In The South China Sea'. (lenggogeni)

PADANG – Senior Fellow and Director Center For Strategic and International Studies, Gregory Poling dalam bukunya, ‘On Dangerous Ground: America’s Century In The South China Sea’ mencoba mengingatkan pemerintah Amerika Serikat untuk tetap konsisten dengan sikap prioritasnya terhadap Laut Cina Selatan. Kemudian, pemikiran langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan kedepannya.

Itu disampaikan Gregory Poling usai diskusi buku On Dangerous Ground pertama di Indonesia, di American Corner Universitas Andalas Padang, Senin (8/8).

“Dalam membuat sebuah buku ini saya membutuhkan 3,5 tahun. Intensifnya pembuatan bukunya pada 2019 – 2020. Rencananya buku ini akan dipasarkan secara dunia, namun buku ini baru dipasarkan di Amerika Serikat. Ke depannya, buku ini akan beredar di beberapa negara di dunia,” ucap Gregory Poling seorang memimpin Program Asia Tenggara dan Inisiatif Transparansi Maritim Asia di Pusat Studi Strategis dan Internasional. Dia adalah pakar terkemuka dalam sengketa Laut China Selatan dan melakukan penelitian tentang aliansi dan kemitraan AS, demokratisasi dan pemerintahan di Asia Tenggara, dan keamanan maritim di seluruh Indo-Pasifik.

Dalam diskusi yang dihadiri mahasiswa dan para dosen itu, Gregory Poling didampingi Wakil Konsul AS untuk Sumatera Jessica Chesbro menceritakan kalau Pemerintah Amerika Serikat sudah lama fokus terhadap persoalan di Laut Cina Selatan. Sebab, AS ingin mempertahankan akses tanpa hambatan ke perairan ini dan mempertahankan perdamaian regional dan stabilitas di kawasan. Kemudian, kepentingan ekonomi khususnya di jalur perdagangan internasional yang sebagian besar melewati kawasan perairan ini.

“Keinginan Cina membuat Amerika, Australia dan negara-negara di Eropa keluar dari ASEAN. Itu semua dilakukan supaya mereka bisa berbuat apa saja, sebab mereka merasa lebih kuat dari negara Asean lainnya. Di sinilah Amerika Serikat harus punya peran mendukung negara-negara aliansinya seperti Filipina ,” tegas Gregory Poling seraya mengajak masyarakat sebagai publik harus terlibat memberikan masukan kepada pemerintah di negara masing-masing.

Sebab, kata Gregory Poling Pemerintah di negara-negar Asean tidak bersuara, karena takut sanksi ekonomi dari Cina berupa tak ada investasi dan pelarangan ekspor.

Seperti diketahui, Laut China Selatan memiliki banyak pulau, baik yang berukuran kecil hingga yang besar. Beberapa yang terkenal adalah Pulau Pratas, Pulau Spratly, dan Pulau Paracel yang turut diperebutkan negara-negara Asean seperti Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.

Pengklaim China atas 80-90 persen wilayah di Laut China Selatan (LCS) dengan alasan sejarah memantik ketegangan antara China – Philipina dan Cina – Taiwan.

Menurut Gregory Poling konfilk antar negara tersebut, tidak memicu terjadinya perang dunia ketiga. “Itu berbeda masalah,” ucap Gregory Poling seraya mengungkapkan kalau jalur diplomasi masih dilakukan.
Perebutan kawasan tersebut, karena LCS salah satu pintu gerbang komersial krusial bagi beberapa jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia. Artinya LCS adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. Belum lagi, perairan tersebut memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan. (ngo)