Jangan Jadikan Perempuan Sebagai Objek Negatif Pemberitaan

PADANG – “Jangan menjadikan perempuan sebagai objek negatif untuk penulisan berita, yang mengarah pada pelecehan. Dan jangan pula gunakan Jurnalisme Firasat untuk menulis berita.”

Hal ini dikatakan oleh Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers, dalam Webinar dengan tema “Tantangan Jurnalis Perempuan di Era Digital”, yang diadakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan Dewan Pers, dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2022, pada Sabtu (5/2). Acara daring ini dihadiri oleh Anggota FJPI dari seluruh Indonesia dan juga undangan dari luar FJPI.

Sebelum Webinar, FJPI menggelar kongres yang memilih kembali Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, sebagai ketua umum periode 2021-2024. Anggota juga memilih kembali Khairiah Lubis, jurnalis DAAI TV di Medan sebagai sekretaris jenderal FJPI.

Industri media massa mengalami beberapa perubahan penting dengan adanya digitalisasi. Jumlah media online kini sudah lebih banyak daripada media konvensional seperti surat kabar, majalah, radio dan televisi.

Dalam catatan Dewan Pers tahun 2019, Indonesia mempunyai 47 ribu media. Dari jumlah tersebut, sebanyak 43.803 di antaranya adalah media online. Sementara sisanya adalah media cetak (2.000), radio (674) dan televisi (523).

Sejumlah media massa konvensional sudah berhenti beroperasi. Namun ada juga yang bisa beradaptasi dengan digitalisasi dan menerapkan serangkaian strategi. Lalu di antara perkembangan dunia digital pada media massa, bagaimana tantangannya terhadap jurnalis perempuan?

Webinar ini menghadirkan tiga pembicara kompeten di bidangnya, yakni Rosianna Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV, Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers, juga Oky Dwiputra, Industry Partnership Manager Tiktok Indonesia.

Dalam Webinar ini, Agus Sudibyo meminta, agar seluruh pihak berhenti menjadikan perempuan sebagai objek, untuk menaikkan minat baca.

Hal tersebut dinilai sebagai tindakan eksploitasi. “Jangan jadikan perempuan objek untuk penulisan berita yang mengarah pada pelecehan untuk perempuan, juga jangan gunakan jurnalisme firasat untuk menulis berita”, ujarnya.

Menurut Agus, saat ini Dewan Pers juga memiliki masalah untuk mengawasi serta memantau berita yang beredar untuk dilakukan pengawasan. Karena hingga kini, belum ditemukan model pemantauan yang cepat, sehingga harusnya kasus yang ditangani dewan pers agar lebih cepat.

Sementara itu, Rosiana Silalahi, yang membahas tentang bagaimana Menjadi Jurnalis Perempuan di Era Digital mengatakan, menurutnya menjadi perempuan adalah berani, berani menghadapi digitalisasi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolak. Apalagi era digital merupakan sesuatu yang penting, ada pemberdayaan perempuan di dalamnya. “Jurnalis perempuan itu harus berani untuk bicara, menentang berita yang menyudutkan perempuan untuk clickbait”, ujarnya.

Ia juga mengatakan, bahwa selain membuat kredibilitas di masyarakat, jurnalis perempuan juga harus memiliki integritas untuk diri sendiri.