Opini  

Kisah dari Lintau : Senja di Rumah Gadang Mufidah Jusuf Kalla

Catatan Egy Massadiah

Sarang Hujan

Bicara Tanah Datar tempat rumah gadang Mufidah, kita sontak ingat Padangpanjang. Dua daerah ini hanya berjarak 28 km. Tidak terlalu jauh. Tidak heran jika keduanya memiliki topografi yang relatif sama.

“Padangpanjang adalah kota yang berbahagia,” demikian tulis Ali Akbar Navis, pengarang ‘Robohnya Surau Kami’ yang fenomenal itu.

Mengutip AA Navis: di sana ada batu kapur yang memberi hidup, ada sawah, ada sungai yang memberi hidup, ada rel kereta yang memberi hidup “walau kadang orang mati juga dilindasnya,” kata Navis lagi.

“Di kota kecil ini,” tulis Navis pula, “air berlebihan. Hingga ke mana pun kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman bagi kita.”

Akan halnya Padangpanjang, maka Tanah Datar pun merupakan kota kecil yang berada di kaki gunung-gunung raksasa. Ada Gunung Singgalang di Barat, ada Gunung Marapi di Timur, ada Gunung Tandikek agak ke barat daya.

Untuk kita ketahui bersama, ternyata bukan hanya Bogor yang dikenal sebagai “kota hujan”, tetapi juga Tanah Datar. “We wonen hier in een regennest, Meneer!” kata seorang pelancong Belanda pada akhir abad ke-19. Yang artinya kurang lebih, “Kami tinggal di sarang hujan di sini, pak!”

Tarian Gempa

Doni Monardo, pria berdarah Minang yang saya kenal sejak berpangkat Mayor di tahun 97-an itu, pernah menjabat Kepala BNPB 2019-2021.

Ia bercerita ihwal keistimewaan rumah gadang. Disebut istimewa karena rumah gadang yang benar, pasti tahan gempa.

Apa daya. Roda zaman terus berputar. Satu per satu, rumah gadang yang berusia di atas 100 tahun, mulai lapuk.

Sebagian berhasil direnovasi, sebagian roboh dan diganti konstruksi rumah beton. Karena itu, rumah gadang mulai jarang ditemui di daerah perkotaan. Akan tetapi, Anda bisa menjumpainya di nagari.

Betapa rumah gadang ternyata juga mewarisi kecanggihan leluhur dalam membuat konstruksi rumah tahan gempa.