Jelang Kongres PWI XXV di Bandung, Jejak Digital Ketum Atal S Depar

Semenjak reformasi baru kali ini Petahana menghadapi banyak kandidat. Dua kepengurusan sebelum Atal, yaitu Tarman Azzam (1998 – 2008 dan Margiono ( 2008a 2018) karena prestasi keduanya terpilih secara aklamasi pada periode kedua. Al Fatihah dua-duanya sudah almarhum.

Pada Kongres PWI Bandung nanti Atal sudah punya jejak rekam lima tahun memimpin organisasi wartawan tertua dan terbesar di Tanah Air. Itu yang akan menjadi bahan evaluasi di kongres. Semua janji kampanyenya akan ditagih peserta. Tema Digitalisasi PWI yang intinya keterbukaan, sama sekali tidak terbukti. Semua hal masih diurus secara manual tradisional. Secara sembunyi- sembunyi. Pembentukan panitia oleh dirinya sendiri salah satu contoh yang mengkhianati tema kampanyenya: keterbukaan.

Atal pasti menyadari jejak rekamnya memimpin kebanyakan hanya mengerjakan hal rutin. Lebih sering ke daerah hanya untuk konferensi daerah dan melantik pengurus terpilih. Tetapi banyak dari daerah yang gaduh setelah konferensi. PWI nya pecah, anggota terbelah.
Tidak ada hal penting bersifat monumental yang bisa dicatat bagi perkembangan organisasi PWI.

Atal selalu memberi alasan, karena tiga tahun pandemi Covid 19 di Tanah Air membuat kepengurusannya terganggu.

Walaupun alasan itu masuk akal namun tentu tidak dapat diterima sekaligus menjadi alasan pembenar bagi begitu banyak pelanggarannya. Pelanggaran-pelanggaran yang sangat fatal bagi organisasi profesi wartawan. Apalagi itu dengan dugaan kuat sengaja dilakukan untuk kepentingan kelompoknya. Ia bahkan bisa disebut justru menjadi dalang semua pelanggaran itu.

Misalnya, pelatikan Ketua PWI Sumatera Barat, DR Basril Basyar. Yang bersangkutan adalah PNS hingga saat pelantikannya. Pada waktu konferensi PWI Sumbar tahun lalu, Basril mengaku telah mengundurkan diri. Namun saat dipersoalkan oleh Dewan Kehormatan PWI, pengunduran dirinya terbukti baru sepihak. Belum ada keputusan dari BAKN sebagai pihak berwenang untuk itu. Artinya status pengunduran diri Basril masih menggerogoti keuangan negara untuk membayar gajinya yang argonya tetap jalan.

Rapat gabungan Pengurus Harian, Dewan Kehormatan PWI dan Dewan Penasihat PWI menangguhkan pelantikan Basril Basyar sebagai Ketua PWI Sumbar. Ia diberi kesempatan 6 bulan untuk mengurus pemberhentian resmi dari BAKN. Namun apa yang terjadi, enam bulan setelah itu Atal melantik Basril meski tanpa surat putusan dari BAKN.

Pelantikan itu jelas melanggar seluruh aturan PWI, mulai PD PRT, Kode Etik PWI dan Kode Perilaku Wartawan. Entah dapat wangsit dari mana, Atal berdalih karena seluruh aturan PWI dimaksud belum disahkan di Kongres Solo ( terutama KPW) sehingga belum berlaku.Padahal ketidaksahan aturan harus dideklarasikan secara resmi. Website PWI masih mencamtukan aturan hasil pengesahan Kongres Solo itu. Kalau pun benar adanya wangsit yang diterima Atal, masih ada aturan PWI sebagai jalan keluar untuk mengesahkan itu di luar kongres terhadap apa yang dikatakan Pengesahannya tinggal dilaporkan dan dipertanggungjawabkan di Kongres berikutnya. Apalagi semua aturan itu adalah produk Komisi Etik Kongres. Tapi Atal tidak mau repot membaca aturan. Padahal, dalam kasus lain Atal juga menggunakan pasal dimaksud untuk memecat Agung Yuwono wartawan di Blora yang ternyata polisi.

Dalam sejarah Atal satu-satunya Ketua Umum PWI yang dua kali menerima surat peringatan keras dari Dewan Kehormatan. Satu lagi yang memalukan, Ketua Bidang Organisasinya bahkan diskorsing satu tahun karena melakukan pelanggaran organisasi. Bersama Atal dan Ketua Bidang Organisasi PWI, Zugito dan Sekjen Mirza Zulhadi kemudian merespons sanksi dengan membuat “ surat pernyataan sikap” menolak sanksi DK PWI.

Seumur PWI Istilah “ Surat Pernyataan Sikap” tidak dikenal dalam aturan organisasi. Istilah itu hanya dikenal dalam organisasi LSM.

Tampaknya ketiga pengurus PWI tersebut tidak membaca secara cermat aturan organisasi PWI. Ketiganya minta previlage, aturan tidak berlaku buat pengurus. Padahal aturan organisasi berlaku untuk seluruh anggota PWI tanpa diskriminasi.