Ibu Kota Nusantara yang Tak Dirindukan

Catatan Ilham Bintang

Lagu “Nusantara” karya Koes Plus yang hits setengah abad lalu, kembali berkumandang beberapa saat pada hari Selasa (18/1) kemarin. Seakan menjadi back song pengesahan UU Ibu Kota Negara ” Nusantara” di DPR-RI, Selasa itu. Video dan teks lirik lagu itu pun beredar di WAG-WAG.

“Kuharap kau tidak akan cemburu …
Melihat hidupku..
Hidupku bebas selalu kawanku
Tiada yang memburu oh
Di nusantara yang indah rumahku
Kamu harus tahu”.

Terinsipirasi Bung Karno

“Nusantara” pertama kali mengudara tahun 1972. Di masanya, lagu itu amat popular, sampai berseri lima volume.
Yon Koeswoyo, dalam wawancaranya tempo hari menjelaskan ihwal lagu Nusantara . Dia mengaku proses penciptaan lagu itu terinspirasi Bung Karno. Tahun 1965 semua personil Koes Bersaudara ( nama awalnya) dipenjara Bung Karno. Lagu lagu band arek Suroboyo itu dituduh anti revolusi. Iramanya ngak ngik ngok dianggap hanya menjadi agen yang menyuburkan budaya Barat. BK menghendaki seniman mencipta dan menyanyikan lagu-lagu bernuansa Indonesia, yang mengajak dan memompa semangat rakyat cinta tanah Air.

Tujuh tahun setelah itu Koes Plus menjawab Bung Karno lewat lagu ” Nusantara”.
“Kalau bukan karena Bung Karno, mungkin kita tidak mengenal Koes Bersaudara atau Koes Plus hingga sekarang,” kata Yok (alm) kepada wartawan beberapa puluh tahun kemudian.

Belum Waladdalin, sudah amin

Tetapi, kenangan kepada lagu “Nusantara Koes Plus” bukan respons tunggal yang menghiasi media pers dan media sosial hingga hari ini. Ada banyak tanggapan dan komentar sumbang mengiringi pengesahan Ibu Kota Nusantara. Tidak seperti lazimnya antusiasme masyarakat menyambut kehadiran atau iming-iming sesuatu yang baru. Yang dominan malah respons berbanding terbalik pelbagai kalangan dengan antusiasme elit politik di Senayan.

Ini bukan fitnah: yang terjadi di gedung DPR-RI memang bikin kita melongo. Ibarat salat berjamaah, imamnya saja belum rampung melafaskan “waladdallin”, makmumnya — para wakil rakyat itu — sudah riuh berseru “aamiin”. Hanya satu fraksi yang sejak awal menolak tegas UU IKN : PKS.

Kritik masyarakat memang paling mencolok ditujukan kepada para wakil kita di parlemen. Bagaimana bisa meluluskan regulasi pemindahan Ibu Kota Negara semudah membalikkan telapak tangan. Kurang sepuluh jam pembahasannya, palu pengesahan pun langsung diketuk oleh Puan Maharani, Ketua DPR-RI. Seperti biasa, tanpa boleh menginterupsi.

Koran Tempo, menurunkan coverstory menyambut peristiwa itu : “Ibu Kota Buru-Buru”. Media ini mengulik berbagai aspek Ibu Kota Nusantara. Mulai dari aspek proses pembahasan dan legalitas undang-undangnya, biaya pembangunannya, dan momentum pandemi yang semestinya menjadi fokus pemerintah. Puluhan juta rakyat miskin yang sengsara di masa pandemi.

Tentang ” Nusantara ” yang dijadikan nama Ibu Kota juga jadi sorotan dan olok- olok publik. Sorotan terutama, karena IKN dianggap menyempitkan makna Nusantara dari sebelumnya yang kita kenal.

Koalisi Masyarakat Kaltim

Sejumlah unsur masyarakat di Kalimantan Timur (Kaltim) pun menolak Undang-undang itu.
Koalisi itu digawangi sejumlah aktivis, seperti Yohana Tiko dari Walhi Kaltim, Buyung Marajo dari Pokja 30 Kaltim, Fathul Wiyashadi dari LBH Samarinda, Andi dari FNKSDA Kaltim, dan Pradarma R. dari Jatam Kaltim.
Melalui siaran pers nya kemarin, mereka mengungkapkan sejumlah permasalahan yang masih belum terselesaikan sebelum UU IKN disahkan. Koalisi menganggap ada cacat prosedural sebagai bentuk dari ancaman keselamatan ruang hidup rakyat maupun satwa langka yang berada di Kalimantan Timur.
“Terutama yang terdampak dengan adanya proyek IKN, yaitu Kabupaten Penajam, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan,” kata mereka dalam siaran persnya, Rabu (19/1).
Mereka menjelaskan megaproyek ibu kota baru berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser serta warga transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu Hektar.

Hanya di era Jokowi

Sulit dibantah memang hanya di era pemerintahan Jokowi beberapa UU lahir tanpa menghiraukan partisipasi publik. Seperti kelahiran UU Cipta Kerja yang prosedurnya inkonstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi.

Banyak pakar berbagai disiplin ilmu menyangsikan regulasi Ibu Kota Nusantara bisa berumur panjang atau mulus dalam pelaksanaannya. Ada yang terang-terangan menyebut UU Ibu Kota Nusantara akan senasib UU Cipta Kerja. Secara legalistik formal, Presiden Jokowi tinggal dua tahun berkuasa, hingga 2024. Paling jauh yang bisa dilakukan hingga akhir jabatannya adalah titah pemindahan ASN. Sedangkan seluruh agendanya baru bisa terwujud belasan tahun mendatang. Kloter pertama berupa pemindahan ASN itu pun kalau ada dana. Sesuatu yang sulit direalisasikan sekarang karena APBN sudah sudah digelayuti utang ribuan triliun. Masuk akal jika Ketua MPR- RI Bambang Soesatyo mengatakan begini :
“Tidak ada jaminan Presiden RI setelah Jokowi akan melanjutkan gagasan Ibu Kota Baru itu,” katanya seperti dikutip media pers, dua tahun lalu. Pernyataan itu semakin relevan sekarang mengingat kondisi pandemi yang tak reda-reda.