Gaji Tak Dibayar 14 Pekerja Asal Jabar Terlunta-lunta di Mentawai

Inilah 14 pekerja asal Jawa Barat yang terlunta-lunta di Mentawai. Ist

 

MENTAWAI-Sebanyak 14 tenaga kerja asal Garut, Jawa Barat terlunta-lunta akibat gaji mereka tak dibayar manajemen resort. Resort yang belum diketahui namanya itu berlokasi di Desa Bosua, Sipora Selatan, diduga milik warga negara Jepang dan bersuami warga negara Indonesia.

Nasib naas yang dialami 14 orang ini bermula dari awal Desember 2018 lalu. Dimana seseorang diketahui bernama Sobrin mengajak 17 warga Garut untuk bekerja di salah satu resort yang ada di Kepulauan Mentawai dengan iming-iming gaji Rp160 ribu per hari untuk 1 orang kepala tukang, Rp130 ribu per hari untuk 1 orang tukang masak dan 8 orang tukang masing-masing Rp130 ribu per hari serta Rp100 ribu untuk masing-masing pembantu tukang per hari yang berjumlah 7 orang.

Kesepakatanan didapat, berangkatlah rombongan ini dari Jawa Barat ke lokasi pembangunan resort tersebut. Tercatat, pekerjaan dimulai sejak tanggal 17 Desember 2018. Dari sinilah, mereka mulai bekerja tanpa mendapatkan gaji meski setiap hari bekerja. Untuk makan, pihak manajemen resort selalu mencukupi keperluan makan minum para pekerja ini.

Berselang dua hari kemudian, dengan beralasan istri tengah sakit, Sobrin meninggalkan para pekerja untuk melanjutkan pekerjaan, sementara dirinya hendak merawat istri. Namun hingga hari ini keberadaan Sobrin tak diketahui rimbanya.

“Kami dibawa oleh Sobrin. Tadinya dia itu ngambil dari kampung tu harian, karna gak tau menahu masalah borongan, dari kampung perjanjian harian, gimana perjanjiannya, disitu dikasih makan. Nyatanya kesana, dia itu hanya dua hari, alasannya istrinya sakit, mau berobat, sampai sekarang gak muncul-muncul, ditelpon nggak diangkat, masuk sih kalau ditelpon, tapi nggak diangkat,” ungkap Agus Suriyana saat bincang-bincang dengan Singgalang di Mesjid Subussalam Polres Kepulauan Mentawai, Senin (25/2).

Lebih lanjut Agus yang merupakan kepala tukang pada pembangunan resort itu awalnya menduga semuanya baik-baik saja tanpa ada persoalan, namun seiring dengan ketidakhadiran Sobrin serta tiada kabar berita, akhirnya para pekerja mempertanyakan kepada pemilik resort bernama Marta Simamora. Namun didapat keterangan bahwa gaji para pekerja sudah dibayarkan kepada Sobrin berupa kerja borongan, bukan kerja harian.

“Pernah, saya minta pertanggungjawaban ke yang punya bangunan, dia gak tau menahu masalah gaji, katanya gaji kalian itu sudah dikasih ke pemborong, tapi kan biasanya kalau orang musyawarah itu ada lah toleransi untuk membantu. Karna itu saya bingung, gak ada uang, pulang gimana, terus terang aja minta pulang waktu itu semua ke orang yang punya itu secara baik-baik. Dia itu malahan nekan saya. Gak bisa kamu pulang itu, selesaikan dulu, karna saya juga udah rugi dibawa kabur sama bos kamu,” kata Agus seraya menirukan ucapan pemilik resort.

Oleh pemilik Resort, diberikan solusi yaitu para pekerja musti menyelesaikan 6 proyek pembangunan sistim borongan dengan nominal Rp120 juta dalam kurun waktu 45 hari, diantaranya pembangunan villa ukuran 38 m X 16 m, bangunan kolam renang 4 m X 7 m, rumah genset, gapura, sumur bor dan pagar.

“Semuanya, harus kelar 75 hari. Saya kan tolak mentah-mentah karna nggak berani, Rp120 juta, 6 pembangunan itu jangka waktu 1 tahun juga gak bakal selesai, dikasih waktu 75 hari,” imbuhnya lagi.
2 dari 17 pekerja itu memilih melarikan diri terlebih dahulu, sementara 1 orang pekerja sudah dipulangkan sedari awal akibat mengalami kecelakaan sepeda motor. Tinggallah 14 pekerja yang bekerja di bawah tekanan dan mengalami intimidasi serta ancaman dari pemilik resort. Pemilik resort mengancam akan mengikat pekerja pada tiang apabila pekerjaan tak diselesaikan.

“Tinggal pilih tiang, mau milih yang mana, mau diikat di lori, atau molen, atau tiang, selain itu juga ada ancaman, meski hanya ancaman dari mulut,” rekan Agus, Kamsur menambahkan.
Tak tahan dengan intimidasi dan ancaman serta kejelasan penghasilan, akhirnya para pekerja ini memilih untuk kabur bersama-sama dari resort. Untuk kabur, mereka musti berlari sejauh 15 kilometer dengan tujuan meminta pertolongan kepada Kepala Desa Bosua. Dari sini, mereka dipandu untuk melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini Polsek Sioban.
Dari Polsek Sioban, rombongan ini langsung diantar ke Tuapejat, Sipora Utara, untuk segera diberangkatkan ke Kota Padang dengan kapal penyeberangan KMP. Gambolo pada Jum’at (22/2) malam. Namun naas, keberangkatan mereka batal karna dicegat pemilik resort yang kala itu didampingi oleh oknum TNI. Mereka dipaksa turun dari kapal untuk diamankan ke Makodim 0319. Namun oleh anggota Polres, rombongan ini diamankan ke Mapolres Mentawai.

“Terjadi insiden di pelabuhan, kita sudah mau naik kapal, rupanya dia datang, bawa tentara. Itu kami udah resmi dari Kapolsek Sioban, udah ijin, udah disuruh pulang, naik di kapal, turun di pelabuhan ini, dijegal sama si Marta Simamora. Udah naik, disuruh turun, alasannya selesaikan dulu. Tadinya kan mau dibawa ke Kodim, Pak Batara, anggota Polres bersikeras, ini kan kasus yang ditangani kepolisian. Nah Pak Batara itulah yang bawa kami kesini,” terang Kamsur.

Sejak peristiwa itu, 14 orang pekerja yang bernama Agus Suriyana, 45 tahun, Kamsur, 54 tahun, Cece Suherman, 68 tahun, Jhoni, 31 tahun, Suleman, 48 tahun, Arul, 31 tahun, Harry, 23 tahun, Aceng, 50 tahun, Imam Mukson, 41 tahun, Nandy Fadillah, 23 tahun, Rizal, 17 tahun, Bayu, 24 tahun, Sony, 20 tahun dan Ato, 52 tahun diinapkan di Mesjid Subussalam, Mapolres Kepulauan Mentawai. Rencananya mereka diberangkatkan pada Senin malam menggunakan kapal penyeberangan KMP. Ambu-ambu menuju Kota Padang pada Senin (25/2) malam.

“Kami yang penting pulang dulu, nggak ada tuntut apapun yang penting kami selamat sampai ke kampung. Selama disini, kami dikasih makan oleh dokter Candra serta Kapolres dan anggota Polres lainnya. Tadi juga sudah dapat informasi, kami sudah bisa pulang malam ini,” tutupnya. (Ricky)