Padang  

Ekonom: Panas Bumi Belum Tergarap Optimal di Sumbar, Geothermal Alternatif Energi Bersih

Harif Amali Rivai

Padang – Sumbar memiliki potensi energi panas bumi yang besar. Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM PTSP), ada 19 titik panas bumi di Sumbar.

Dari seluruh titik panas bumi itu, menghasilkan 1.680 mega watt (MW). Sementara yang baru berhasil dikelola baru di Muara Labuh, Kabupaten Solok Selatan.

Hal itu dikatakan,‎ Ekonom Universitas Andalas, Harif Amali Rivai kepada wartawan, Selasa (7/11). “Kita menyayangkan belum banyak energi panas bumi di Sumbar yang belum tergarap. Padahal, energi panas bumi atau geothermal adalah alternatif energi bersih, minim resiko dan mampu mendongkrak perekonomian daerah,” kata Harif.

Harif mengatakan,‎ energi panas bumi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan, dan minim resiko. Resikonya sangat kecil dan itu bisa dikendalikan. Dia mencotohkan, keberhasilan pemanfaatan energi panas bumi di Solok Selatan yang dikelola PT. Supreme Energi Muara Labuh.

Sudah bertahun-tahun berjalan, eksplorasi energi panas bumi di Solsel tidak memberikan dampak buruk kepada lingkungan dan juga memberikan dampak ekonomi yang besar buat kabupaten tersebut.

“Dalam satu tahun saja, ada kurang lebih Rp70 miliar pendapatan asli daerah (PAD) masuk ke Solok Selatan. Untuk daerah lain yang juga memiliki potensi‎ energi panas bumi, seperti Gunung Talang, Kabupaten Solok, supaya pemerintah daerah bisa menyelesaikan persoalan sosial yang dapat menjadi penghalang investasi masuk,” ujar Harif Mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unand itu.

Dikatakan, masih ada sebagian masyarakat yang belum paham manfaat masuknya investor dan perusahaan ke daerah mereka karena ketakutan akan digusur atau lahan mereka rusak.‎ Investor akan sungkan masuk bila persoalan sosial di lapangan belum selesai. Sehingga ada potensi operasional perusahaan terhenti.

“Di sinilah seharusnya peran pemerintah daerah. Meyakinkan masyarakat, bahwa Geothermal itu ramah lingkungan dan akan ada dampak ekonomi yang besar untuk daerah. Terutama masyarakat sekitar,” katanya.

Dikatakannya, dampak ekonomi untuk masyarakat yang sangat dirasakan adalah terserapnya tenaga kerja lokal. Seperti di Solok Selatan investor lebih banyak menggunakan tenaga kerja lokal. Dimulai dari masa konstruksi awal (EPC), tentunya akan butuh banyak sekali tenaga kerja yang menyerap masyarakat setempat untuk membantu pembangunan PLTP sesuai dengan keterampilan masing-masing.

Dilanjutkan dengan adanya transfer teknologi melalui pendidikan kejuruan (SMK) bagi masyarakat yang ingin bekerja di tingkat yang lebih tinggi memerlukan keterampilan teknis, ataupun pelatihan-pelatihan kewirausahaan agar masyarakat menjadi maju dan berkembang dengan dukungan dari perusahaan.‎ Di samping itu salah satu aset yang akan dibangun untuk mempelancara pembangunan PLTP adalah pembangunan jalan, dari dan menuju ke lokasi PLTP.

“Pembangunan jalan ini tidak hanya untuk PLTP, tapi otomatis juga berguna bagi masyarakat luas. Dengan ada terbukanya akses jalan yang baru, maka transportasi di sana menjadi lancar. Hasil-hasil bumi yang diproduksi akan mudah didistribusikan dengan biaya yang lebih murah, apabila transportasi menjadi lancar,” ujarnya.

Terakhir Harif mengatakan, akan ada lagi dampak turunan kepada UMKM masyarakat sekitar proyek geothermal tersebut. Seperti, pemanfaatan panas bumi untuk pengeringan produk holtikultura seperti kopi dan sejenisnya.‎ Persoalan lain yang menghambat masuknya investor untuk geothermal ini adalah adanya provokasi dari pihak luar untuk mencari keuntungan.

Provokasi ini dilakukan dengan menghasut serta memberikan kabar buruk tentang geothermal. Sehingga ada ketakutan bagi masyarakat, geothermal akan merusak lingkungan yang selama ini dipakai untuk lahan pertanian.

“Pemda harus menjelaskan bahwa ketakutan seperti itu tidak punya dasar. Contoh Solok Selatan, mereka bergerak sudah sesuai amdal, semua operasional memenuhi standar. Lalu tenaga kerja lokal akan terserap,” tutupnya.109