Deklarasi Ragusa Agam Raya, dari Manyuruak di Hilalang Sahalai Hingga Sanksi Sosial Bagi Perusak Konstitusi

Koordinator Ragusa Sumbar, Muhammad Jamil saat jadi narasumber diskusi dalam rangkaian Deklarasi Ragusa Agam Raya. (ist)

PADANG – Setelah Sumbar dan Pesisir Selatan, giliran Relawan Ganjar-Mahfud untuk Agam Raya (Ragusa Agama Raya) dideklarasikan di sebuah kafe di Lubuk Basung, Agam, Sabtu (11/11/2023).

Hadir dalam kegiatan yang dirangkaikan dengan diskusi bertemakan “Politik Dinasti: Putusan MK dan MKMK dalam Perspektif Adat Minangkabau” itu Ketua Ragusa Sumbar, Muhamad Jamil dan sejumlah jajaran serta sekitar 55 masyarakat dari beragam nigari di Bukittinggi dan Agam.

Dalam diskusi tersebut, Muhamad Jamil yang didapuk sebagai narasumber menjelaskan, kekuasaan yang berpusat pada satu keluarga tertentu biasanya menjadi hal yang biasa dan seakan menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Contohnya, Ketika ada seorang ayah menjadi tentara, maka anaknya biasanya jadi tentara, dan semacamnya.

“Selama itu tidak melanggar etika dan hukum maka sepanjang itu pula akan dipahami biasa oleh masyarakat kita. Namun, akan menjadi tidak elok ketika seorang ayah harus melakukan sesuatu yang melanggar kebiasaan tadi, yaitu Ketika menggunakan kekuasaannya untuk merubah hukum yang seharusnya kita “Sucikan” Bersama,” ujar Founder Dangau Gerakan Institute ini.

Menurutnya, banyak pernyataan “pembenaran” dari para politisi, namun pembenaran yang hanya bersifat absurt dan malah menambah panjang perdebatan tentang kejanggalan yang dipertontonkan. Bahasa ini lebih dikenal pada masyarakat Minangkabau dengan “manyuruak di hilalang sahalai”.

Maksudnya Ketika mereka menyembuyikan diri dari kesalahan yang telah diperbuatnya, malah semakin tampak luas kesalahan itu bagi masyarakat banyak. Hal ini karena “kesucian” lembaga penegakkan konstitusi sekarang telah “diperkosa” oleh penguasa. Apa buktinya? buktinya adalah putusan MKMK yang memutuskan perkara bahwa ternyata ketua hakim konstitusi pada waktu itu dinyatakan melanggar kode etik.

“Kondisi Lembaga Penegakkan Konstitusi sekarang telah melahirkan “anak haram”. Maksudnya, meskipun dalam prosesnya telah melanggar etika dan norma yang berlaku, tetapi produk keputusan lembaga MK tetaplah menjadi aturan bagi kita rakyat Indonesia yang harus kita hormati dan taati Bersama. Seumpama ada anak yang lahir dari perbuatan yang tidak dilazimkan oleh norma, maka kita harus mentolerir bahwa anak tersebut adalah manusia biasa yang diberlakukan sesuai norma dan adat kita,” lanjut penyandang gelar doktor agama ini.

Ia menilai, masyarakat Minangkabau memiliki cara pandang tersendiri dalam menyikapi kasus seperti ini, yaitu “kalau busuak tabu sa rueh, jan dibuang sa batangnyo”. “Maksudnya, kita harus bisa memilih dan memilah bahwa mana aktor-aktor yang membuat rusak konstitusi kita, maka itulah yang harus mendapatkan sanksi sosial. Jika ditanya apa bentuk sanksi sosialnya, maka orang Minang akan menjawab “dibuang sapanjang adat”. Artinya, para aktor yang sudah “tarang nan bak bulan, siang nan bak hari, bagalanggang mato urang banyak” tidak lagi menjadi panutan, disebabkan “tungkek nan mambao rabah, kabau gadang paampang banda,” jelas Jamil.

Menanggapi itu salah seorang peserta diskusi, Rustam mengatakan, pemimpin Seperti apa yang harus dipilih di daerah yang seperti saat sekarang ini, dan menurutnya pemimpin itu berjanji tidak menepati janji, perkataannya kok bisa tidak sesuai dengan perbuatannya.

Akhirnya peserta diskusi menyatakan dukungannya kepada Ganjar-Mahfud (GAMA), karena ada harapan penegakkan dan kehormatan konstitusi tertumpang kepada GAMA, terkait pengalaman Prof. Mahfud MD yang telah mengabdi pada trias politika negara ini. Mereka pun bergabung dalam Ragusa Agam Raya dengan Koordinator Indra Lesmana. (mat)