Bedanya Etnik Minang

kebudayaan.kemendikbud.go.id

Berdasarkan hasil survei LSI pada Oktober 2015 di Sumbar, 84,35% masyarakat menganggap kurang/tidak wajar adanya pemberian dalam rangka memilih gubernur. Kemudian, hanya 4,1% masyarakat akan memilih calon kepala daerah jika diberi uang 200.000 rupiah. Dan jika diberi 50.000 rupiah hanya 2,7% masyarakat yang akan memilih calon kepala daerah. Selain itu, masyarakat juga kurang yakin pasangan calon kepala daerah akan membagikan money politic di pilkada 2015. Masyarakat juga tidak akan memilih calon lain yang melakukan money politic, dan akan tetap memilih calon pilihan mereka meskipun tidak melakukan money politic. Sementara jika ada imbauan dari politisi, parpol, tokoh atau lembaga, untuk memilih calon tertentu, maka ini tidak memberikan pengaruh signifikan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya.

Dan jangankan politik uang, perjuangan aspirasi alokasi anggaran oleh anggota dewan secara konstitusional untuk kepentingan masyarakat seperti pembangunan infrastruktur, pengadaan peralatan pertanian, hibah, bansos, bantuan pendidikan, bantuan untuk pengusaha UMKM dan lainnya tidak memberikan pengaruh terhadap pilihan masyarakat untuk memilih anggota dewan tersebut di Pemilu berikutnya. Ini karena masyarakat ingin memilih karena keputusan sendiri yang mencerminkan harga diri dan gengsinya, bukan dorongan pihak lain yang berupa iming-iming uang atau hadiah.

Selain itu bedanya etnik Minang adalah memiliki standar kepuasan tinggi dalam memilih kepala daerah. Beberapa kepala daerah yang saya tahu prestasinya dalam memajukan wilayahnya dalam pilkada berikutnya (Pilkada 2015) tidak terpilih lagi. Dalam tulisan saya di koran terbitan Sumbar maupun ketika memberikan sambutan di rapat koordinasi dengan kepala daerah, saya kerap mengapresiasi prestasi yang telah dicapai oleh para kepala daerah tersebut. Saya tidak hanya tahu, tapi juga merasakan dan melihat perubahan yang positif di wilayah mereka ketika saya berkunjung ke daerah tersebut.

Fenomena ini juga sejalan dengan indeks kebahagiaan rakyat Sumbar yang pernah menjadi populer karena disandingkan dengan indikator kuantitatif seperti pendapatan, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan lainnya. Dalam indeks kepuasan tersebut sempat terungkap bahwa masyarakat belum puas jika hanya tamat S1 dan minimal harus tamat S2. Selain itu, budaya merantau juga menjelaskan bahwa orang Minang ingin mendapatkan kepuasan yang tinggi untuk hidup mereka. Maka, karena masalah kepuasan yang tinggi ini bisa menjadi penyebab banyaknya kepala daerah petahana tidak terpilih kembali.

Pada pilkada 2005 Masriadi Martunus selaku petahana (Tanah Datar) tidak terpilih kembali. Kemudian di Pilkada 2008, Mahyuddin yang juga petahana (Kota Pariaman) juga tidak terpilih kembali. Pada pilkada 2010, hanya dua orang kepala daerah petahana saja yang terpilih lagi, yaitu Nasrul Abit (Pesisir Selatan) dan Shadiq Pasadigoe (Tanah Datar). Selebihnya tidak terpilih seperti Yusuf Lubis (Pasaman), Sahiran (Pasaman Barat), Gusmal (Kab. Solok), Marlon Martua (Dharmasraya), Sjafrizal (Solok Selatan), dan Marlis Rahman (Sumbar). Pada pilkada 2015, para kepala daerah petahana pun banyak yang tidak terpilih kembali. Demikian juga dengan caleg yang maju kembali di pemilu 2014, dari pengamatan saya tidak lebih dari 30% dari anggota dewan yang petahana, yang kemudian terpilih kembali. Masyarakat yang memiliki standar kepuasan tinggi menginginkan kepala daerah yang baru, anggota dewan yang baru, ingin adanya perubahan, atau sesuatu yang baru. Masyarakat Minang memiliki budaya egaliter, di mana pemimpin hanya ditinggikan seranting, didulukan selangkah saja. Dalam hubungan antara masyarakat dengan kepala daerah, tidak muncul budaya patron-klien.

Dalam Pilkada 2015, petahana yang tidak terpilih merupakan kepala daerah yang memiliki prestasi. Di antaranya: Adi Gunawan (Dharmasraya), adalah bupati tercepat yang mengeluarkan wilayahnya dari kabupaten tertinggal, pertumbuhan ekonominya tertinggi di Sumbar, dan mampu menurunkan kemiskinan dan pengangguran dengan baik, serta pembangunan infrastruktur banyak dilakukan di masanya. Benny Utama (Pasaman), berhasil mengurangi belanja pegawai untuk dialokasikan kepada pembangunan, berprestasi di bidang lingkungan hidup, pemerintahan dan sangat terasa pembangunan di masanya. Irzal Ilyas (Kota Solok), dalam sebuah tulisan di koran saya mengapresiasi pelayanan publik di masanya yang cukup bagus, serta banyak mendapat penghargaan. Ismet Amzis (Bukittinggi), banyak mendapatkan penghargaan di bidang pendidikan, kesehatan dan pariwisata. Dan di Pilkada 2018, Ali Yusuf (Sawahlunto) juga tidak terpilih
meskipun berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, serta meningkatkan pembangunan UMKM dan sektor pariwisata.

Selain itu, wakil kepala daerah petahana yang maju untuk meraih posisi kepala daerah pun banyak yang tidak terpilih di pilkada 2015. Padahal mereka juga berprestasi. Seperti Editiawarman (Pesisir Selatan), Desra Ediwan (Kab. Solok), Asyirwan Yunus (50 Kota), dan (Syamsul Bahri Payakumbuh, 2012).

Inilah bedanya etnik Minang dengan kekhasan budayanya, baik yang ada di Sumbar, maupun di rantau. Perempuan di Minangkabau lebih dominan dalam pembangunan gender di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, agama, ekonomi dibanding berada di kekuasaan dan politik. Mereka lebih cenderung memposisikan diri sebagai bundo kanduang. Orang Minang memiliki independensi dan gengsi, egaliter dan tidak patron-klien, serta ingin perubahan dan standar kepuasan tinggi, baik untuk kebaikan dirinya (merantau, pendidikan, kehidupan) maupun untuk kebaikan wilayahnya (pilkada, pileg).

Dan tentu saja masyarakat etnik lainnya di Indonesia juga punya perbedaan budaya dengan etnik Minang. Maka, setiap budaya yang ada di Indonesia tidak bisa disebut lebih buruk atau lebih baik, karena lahir dan berkembang di tengah kondisi yang berbeda. Keragaman budaya ini merupakan cerminan Bhineka Tunggal Ika. Allah Swt dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 juga telah berfirman bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain. Hidup dengan budaya yang berbeda memang sudah ditakdirkan Tuhan, agar manusia saling menghormati dan mengasihi sesamanya. *