Ragam  

Ziarah ke Rumah Kelahiran Rasullah SAW

MEKKAH-Bulan bulat penuh, tak bertampuk tergantung di langit tua persis setentang Masjidil Haram. Pukul 01.00 waktu Saudi tanggal 14 Zukaidah 1439, saya dan Pak Eri dari KBIH Nurzikrillah, melangkah di ujung lelah ke bekas rumah kelahiran Rasullah.
Rumah itu sepi sendiri, ringkih dicengkram hotel berbintang di sekitar Masjidil Haram. Zamzam Tower nan gagah menusuk langit memberi tanda ke seluruh penjuru kota, ” di kakiku ada Masjidil Haram.”
Saya tak ke sana melainkan ke rumah junjungan umat Islam. Lagi-lagi Barjanzi masa kecil itu berdenting di kepala saya. Dalam simpuh yang sempurna, saya mendengarkan kisah kelahiran Nabi melalui syair Barjanzi itu dari kakek saya yang diundang ke rumah-rumah warga. Mereka warga desa nan tulus. Pada kekak saya saja hormat apalagi kepada Nabi.
Kini saya berdiri di hadapan rumah Nabi itu, bukan untuk sirik sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Kerajaan Saudi tapi untuk memberi hormat pada Beliau.
Rumah bertingkat dua itu dikunci. Tak jauh dari eks Pasar Seng yang sudah dibongkar, di jantung Mekkah Almukaramah. Rumah ini seolah mengawal Masjidil Haram. Di sisinya ada sumur Zam Zam yang dialirkan lewat bawah tanah dari masjid.
Rumah itu kini jadi perpustakaan. Dalam buku Sirah Nabawiyah, tempat kelahiran Nabi SAW dulu dikenal dengan lembah Abu Thalib. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, rumah ini dihuni oleh Aqil bin Abi Thalib RA, kemudian cucunya.
Rumah bersejarah tersebut lantas dibeli Khizran, istri Raja Bani Abbasiyah yang terkenal sukses dan ahli ibadah dan dijadikan masjid. Tak elok ada masjid dekat sekali dengan Masjidil Haram, maka kemudian diubah jadi pustaka pada 1950, atau 68 tahun silam.
Rumah 10 x 18 meter tak tersentuh ekskavator. Menurut riwayat, Nabi dilahirkan di sini, di rumah kakeknya Abdul Mutalib. Nabi anak miskin dengan ayah Abdullah dan ibu Aminah. Sang ibu membungkus bayinya dengan baik buruk saja. Ia membawa ke sisi Ka’bah agar ada ibu susu yang mengambil. Ada 40 bayi. Waktu terus berjalan, sepasang suami istri datang dengan onta yang sudah tua. Sang istri Halimah Sa’diah menemukan bayi itu lalu membawanya. Sejak itu sejarah berjalan terus.
Muhammad dibawa meninggalkan kota. Rumah itu dan seisinya termagu dan siapa sangka kini bekas rumahnya masih ada. Ke sanalah saya dinihari Jumat sehabis tawaf dan sai.
Tawaf dan Sai
Ka’bah itu ya Allah. Saya hadir di sini amat dekat, sedekat yang saya tak bisa menduga. Menurut republika.com, dengan tinggi saat ini sekitar 38 kaki 6 inci (kira-kira 11 meter) dan ukuran total adalah 627 kaki persegi maka ukuran dalam Ka’bah 42,64 x 29,52 kaki atau sekitar 12,7 x 8,85 meter. Ruangan di dalam Ka’bah diperkirakan mampu menampung sebanyak 50 orang.
Saya tatap bangunan persegi berbungkus kain hitam itu. Saya berdoa agar Ka’bah itu tak diganggu apapun. Tetap berdiri di sana dan tetap gagah.
Ka’bah memang gagah. Wibawanya menyerap energi saya, terasa dingin. Buku roma saya berdiri. Saya dan semua jemaah KBIH Nur Zikrillah dipandu Prof Masnal mulai Tawaf. Ada sesuatu yang hangat di dada apalagi mendengar ucapan semua orang yang syahdu. Ada yang menangis.
Selesai maka saya berdoa, shalat sunat dan minum zamzam. Kini Sai bersama Pak Eri. Berbagai bangsa berdesak-desakan.
Tujuh kali sesuai jumlah karet gelang yang berpindah dari tangan kiri ke kanan. Kami ke Safa dan Marwa dua bukit paling dramatis antara ibu dan anak. Hajar dan Ismail. Sang anak sudah kalansangan. Bisakah tuan dan puan bayangkan di padang pasir paling ganas di bumi seorang balita kehausan. Balita itu dinanti kehadirannya oleh sang ayah berpuluh tahun.
Ibunya wanita perkasa itu berlari sendirian menikam pasir yang panas. Sendirian! Air air. Tak ada air.
Ia tak sendiri, ada Tuhan. Lalu tumit kecil Ismail yang enak dicium-cium itu menghatam pasir. Dari bekas tumitnya itulah keluar air.
“Zam zam,” kata Hajar. Di lokasi Siti Hajar itulah jemaah melakukan Sai. Berlari-lari antara Safa dan Marwa guna merekonstruksi perjuangan seorang ibu yang amat sayang pada anaknya. Tujuh kali diakhiri dengan memotong rambut. Saya lihat massa kian menyemut. Saya melangkah menjauh keluar dan mendekati rumah Nabi. (khairul jasmi)