Budaya  

Webinar Satupena: Kehebatan Orang Minangkabau Dibangun Melalui Pendidikan dan Tradisi Literasi

PADANG – Kehebatan orang Minangkabau pada masa lalu tidap dapat dipungkiri. Kuncinya, termasuk kini dan masa depan, terletak pada tingginya perhatian kepada pentingnya pendidikan dan kuatnya tradisi literasi. Tradisi literasi tersebut yakni membaca dan menulis, pada berbagai dimensi dan implementasi.

Demikian terungkap dalam webinar Obrolan Hati Pena#58 bertajuk, “Literasi Minangkabau: Dulu, Sekarang dan Akan Datang,” yang diselenggarakan pada Kamis (6/10/2022) malam.

Webenar tersebut menampilkan narasumber Khairul Jasmi (Pemimpin Redaksi Harian Singgalang) dan Hasril Chaniago (Penulis Biogrofi). Bertindak sebagai Host Elza Peldi Taher dan Armaidi Tanjung.

Webinar diselenggarakan Satupena Indonesia, yang sekaligus merupakan kegiatan pra International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) yang akan diselenggarakan DPD Satupena Sumbar pada 22-27 Februari 2023 mendatang.

Hasril Chaniago menggambarkan bagaimana tradisi membaca dan menulis yang menjadi kunci kehebatan orang Minangkabau. Para tokoh besar, pemikir, intelektual, dan cendekiawan asal Minangkabau lahir karena tradisi literasi (membaca dan menulis). Selain ‘gila membaca’ mereka juga ‘gila menulis’, serta menguasai banyak bahasa asing.

“Bung Hatta pulang dari Negeri Belanda setelah menyelesaikan sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam (1931) membawa 16 peti buku, masing-masing peti berukuran setengah kubik. Untuk menyusun buku-buku tersebut di rumah Ayub Rais diperlukan waktu tiga hari. Hatta kemudian dikenal sebagai Bapak Bangsa yang paling banyak menulis buku. Selain bahasa Indonesia, Hatta lancar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman”, kata Hasril yang kini sedang menyiapkan buku biografi memuat 1001 tokoh Minang.

Menurut Hasril, Muhammad Yamin membaca, belajar, dan menulis segala hal: sejarah, hukum tata negara, puisi dan prosa, hingga soal Jawa kuno dan menguasai pula bahasa Sansekerta. Siapa yang tidak kenal dengan Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Buya Hamka, Abu Hanifah, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan banyak lagi. Mereka besar karena hidup dalam tradisi literasi yang luar biasa, gila membaca dan produktif menulis.

Generasi berikutnya ada Prof. Taufik Abdullah, Prof. Alwi Dahlan, Prof. A. Syafii Maarif, lalu diteruskan Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Fadli Zon. Jangan lupa, Prof. Dr. Irwandi Jaswir, ilmuan peneliti ahli halal dunia peraih King Faisal Prize 2018 yang sangat produktif meneliti dan menulis.

Azyumardi Azra seorang wartawan, sejarawan, intelektual dan penulis yang sangat produktif, bahkan untuk menyimpan koleksi bukunya puluhan ribu judul harus menyediakan sebuah rumah khusus sebagai perpustakaan pribadinya.

“Begitu pula Fadii Zon, kolektor buku dan bacaan yang oleh Kompas dinyatakan sebagai pemilik perpustakaan pribadi terbesar di Indonesia, dan pemegang 9 rekor MURI berkaitan dengan literasi dan semacamnya”, ujar Hasril.

Begitu pula, “Sekitar 75 persen penulis Angkatan Balai Pustaka adalah orang Minang. Di setiap angkatan: Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angketan 66, nama sastrawan asal Minangkabau tidak bisa dilupakan. Dari sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia di era modern, enam sastrawan asal Minangkabau pernah meraih penghargaan SEA Write Award. Mereka adalah A.A. Navis, Taufiq Ismail, Wisran Hadi, Gus tf Sakai, Afrizal Malna, dan Rusli Marzuki Saria”, urai Hasril yang juga penulis dan editor lebih 30 buku biografi dan sejarah itu.