Opini  

Warna Lokal Minangkabau: Bahasa, Masyarakat, dan Budaya

Kehadiran warna lokal dalam teks sastra warna lokal merupakan bukti fisik dari kesosialan pengarang terhadap bahasa yang mesti diwariskan oleh generasi berikutnya dalam melestarikan bahasa kedaerahan sebagai upaya revitalisasi dan dokomentasi bahasa lokal.

Karya sastra sebagai wadah bagi pengarang dari berbagai era dimanfaatkan untuk mempertahankan identitas lokal yang sedang terancam.

Karya sastra dengan segala bentuk dan isi yang terkandung dengan muatan lokalitas Minangkabau menjadi “warisan pengarang” untuk pelestarian bahasa yang bersifat setempat.

Dengan demikian, warna lokal dapat dikatakan sebagai upaya pengarang dalam memanfaatkan bentuk, seperti aspek stilistik berupa diksi dan gaya bahasa.

Hal ini tentu penting sekali untuk dibangkitkan. Di era milenial, dalam gelanggang tulis-menulis, tidak cukup banyak penulis baru yang muncul dan tertarik untuk menuliskan sastra Indonesia warna lokal atau berbahasa Minangkabau.

Pengarang yang masih eksis dalam menulis dengan muatan lokalitas Minangkabau masih terbilang statis, belum begitu terlihat regenerasi yang mencirikan zamannya.

Jika diselisik dari segi bentuk, seperti diksi dan gaya bahasa, muatan hal tersebut harus memiliki nilai estetika.

Pendayagunaan bahasa lokal “yang mapan” oleh pengarang bertujuan untuk menggambarkan kekhususan tentang cara merasa atau mengungkapkan maksud tertentu yang merupakan khas masyarakat setempat.

Pada tataran ekspresif, jika seseorang dari Minangkabau ingin mengungkapkan rasa marah dan jengkel, misalnya, dapat disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa satire yang khas Minangkabau.

Dalam fungsi lain, jika ingin mengungkapkan nasihat, kritik, kondisi baik-buruk terhadap seseorang atau hal, rasa kecewa, bahagia, terkejut, dan lain sebagainya, seseorang Minang dapat mengungkapkannya melalui gaya bahasa perbandingan, pertentangan, bahkan penegasan.

Pertimbangan pendayagunaan bahasa lokal itu pada gilirannya akan mencerminkan kondisi sosial budaya suatu etnis serta juga kematangan seorang pengarang karena telah merepresentasi sikap berbahasa dan cara pandang masyarakat setempat pada karya sastra yang dikarangnya. (*)