Hukum  

Turunkan Foto Presiden saat Demo, Mahasiswa Diamankan

Ilustrasi. (*)

PADANG – Diduga sebagai provokator dan menurunkan foto Presiden Joko Widodo mengunakan tali saat unjuk rasa di gedung DPRD Sumbar, seorang mahasiswa diamankan aparat kepolisian. Hingga Kamis (26/9) siang, oknum mahasiswa itu masih diperiksa penyidik.

Pelaku berinisial TI, (19) warga Padang Sarai, Koto Tangah, Padang. “”Iya benar sudah diamankan, masih dalam pendalaman,” kata Dirreskrimum Polda Sumbar, Kombes Pol Onny Trimurti Nugroho, Kamis (26/9).

Dikatakan Onny, saat dimintai keterangan, mahasiswa yang berasal dari salah satu universitas negeri di Padang tersebut mengakui dirinya yang menurunkan foto Presiden RI dari ruang rapat DPRD Sumbar.

Selain itu, pihaknya juga akan melakukan penangkapan terhadap terduga pelaku lainnya. “Empat orang sudah dikantongi terkait pencoretan dinding dan pengrusakan fasilitas kantor DPRD”, jelasnya.

Terkait menyampaikan pendapat di muka umum, Dirreskrimum Polda Sumbar mengimbau kepada mahasiswa untuk tidak berbuat anarkis.

“Menyampaikan pendapat boleh-boleh saja dan diatur dalam Undang-undang. Namun tidak dilakukan secara anarkis apalagi merusak fasiltas umum, karena hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum dan ada proses hukumnya”, imbaunya.

Sementara itu, sebelumnya Kapolresta Padang, Kombes Yulmar Try Himawan mengatakan pihaknya mengusut tuntas pengrusakan fasilitas di gedung DPRD Sumbar dan telah mengantongi identitas pelaku perusuh dan pengrusakan tersebut.

“Identitas sudah kita kantongi, berapa jumlah dan siapa orangnya kita lihat saja nanti,” ucap Yulmar, Rabu (26/9).

Sebelumnya, unjuk rasa yang terjadi di kantor DPRD Sumatera Barat (Sumbar) berakhir ricuh. Selain memasang sejumlah poster dengan kalimat tak pantas, oknum mahasiswa yang tergabung ke dalam lapisan masyarakat di Sumbar juga mengacak-acak ruang rapat paripurna.

Dalam aksi yang digelar pada Rabu (25/9) tersebut, mereka melakukan penolakan terhadap pasal-pasal yang dinilai kontroversional yang telah atau akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seperti penolakan terhadap revisi undang-undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta pasal-pasal yang dinilai ‘nyeleneh’. (guspa)