Tradisi Malamang pada Masyarakat Pariaman

Lomba malamang

Oleh: Zulkhaidah
(Mahasiswa Prodi Sejarah UPGRISBA)

Bagi masyarakat pecinta penganan atau jajanan tradisional di Sumatera Barat pada umumnya dan Kota Pariaman khususnya dapat dipastikan mengenal lemang.

Di setiap daerah cara memasak lamang ini bervariasi, ada yang mengolah lemang rasa original (ketan saja), ada lemang yang ada isian inti berupa kelapa parut dan gula aren, ada pula yang mengkombinasikannya isian lamang dengan pisang kepok. Ada pula yang menikmati lemang tape ketan hitam, ada pula yang menyantapnya dengan buah durian

Memasak lemang sudah menjadi tradisi nenek moyang orang Minang sejak dulu kala. Tradisi malamang itu biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (persta pernikahan), dan lain sebagainya. Pengerjaan atau memasak lamang ini biasanya dilakukan oleh orang dewasa dan anak-anak muda.

Tradisi malamang dapat ditemui di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Barat, baik di daerah darek (darat) seperti Solok, Payakumbuh, Agam, Tanah Datar, maupun di daerah pesisir pantai seperti Padang, Pariaman, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan. Tradisi malamang ini terdapat pada juga di daerah lain yang dahulunya merupakan rantau Minangkabau seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi) Tebing Tinggi (Sumatera Utara), serta di Negeri Sembilan (Malaysia).

Namun sejalan dengan perjalanan waktu, saat tidak banyak generasi muda di Sumatera Barat tidak tahu bagaimana cara memasak leman, baik di wilayah perkotaan hingga di kawasan perdesaan.

Apalagi, saat ini mudah bagi orang mendapatkan lemang secara “instan”, karena di pasar tradisional dapat ditemukan penjual lemang yang menjajakan penganan tersebut dengan berbagai varian rasa. Orang tinggal memilih lemang sesuai dengan selera masing-masing.
Makna Malamang
Malamang berasal dari kata “ma” dan “lamang”. Ma yang berarti melakukan sesuatu, dan lamang berarti nama makanan yang terbuat dari beras ketan serta pulut. Lamang terbagi tiga yaitu lamang sipuluik, lamang pisang, dan lamang kundua. Tradisi malamang ini menjadi keunikan tersendiri yang terdapat di Pariaman. Nilai budaya dan sosialnya sangatlah kuat karena diarahkan ke dalam nilai religi yang terjadi pada saat peristiwa tersebut.
Malamang atau membuat lemang diadakan setiap tahun pada saat perayaan Maulid Nabi atau Maulud, baik menjelang Maulud, ketika Maulid, maupun setelah Maulud. malamang atau membuat lemang pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW diikuti dengan serangkaian acara seperti minum (minum kopi), berdzikir, sampai bajamba (makan bersama) pada keesokan harinya.
Masyarakat Pariaman sendiri, selain melaksanakan kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang biasanya disebut dengan bulan mauluik yang jatuh pada bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Namun, kegiatan malamang dalam jumlah besar hanya dilakukan pada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di Pariaman juga dikenal adanya bulan lamang yang jatuh pada bulan Sya’ban. Pada bulan tersebut masing-masing rumah tangga, khususnya para menantu akan membuat lemang di rumah mereka masing-masing, dimana lemang-lemang tersebut nantinya akan diberikan kepada mertua mereka. Ada pula yang memasak lemang bersama-sama, kemudian dibagi-bagikan untuk satu kampung dalam rangka mempererat silaturahmi.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan lamang yaitu diantaranya : talang atau bambu, santan kelapa, beras atau puluik (ketan), pucuk daun pisang dan garam. Proses dalam pembuatan lamang sendiri yaitu mencari talang, memotong talang, membersihkan talang, mencari pucuk daun pisang, mengalas talang dengan daun pisang, membersihkan serta mengerikan beras pulut, memasukan beras ke dalam talang, membuka dan memarut kelapa, mameras kelapa jadi santan, memasukan santan ke dalam talang, membuat tempat pembakaran talang, membawa talang ke tempat pembakaran, membakar dan memasak lamang.

Tradisi malamang pada dasarnya mengandung nilai budaya masyarakat-masyarakat Minangkabau yang patut diwarisi oleh masyarakat sekarang seperti nilai sosial (kerjasama, gotong royong, persatuan dan kesatuan) karena membuat lamang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat.
Lestarikan Malamang
Menurut hemat penulis, jika tradisi malamang tidak ada pelestariannya maka pada suatu saat generasi ke depan tidak akan mengenal lagi tradisi malamang sebagai sebagai budaya Minangkabau.

Sehubungan dengan hal itu, seluruh elemen masyarakat dapat melestarikannya kembali. Oleh karena itu perlu peran bundo kandung, ninik mamak untuk memasyarakatkan lemang di lingkungan mereka. Di samping itu pemerintah juga harus melestarikannya melalui iven budaya, seperti festival lemang, lomba memasak lemang. Jika perlu memfasilitasi adanya pedagang lemang di pasar kuliner. Jika hal itu dilakukan semua pihak, maka tradisi malamang tak akan hilang ditelan zaman. (*)