Ternyata Rumah Gadang Itu Memang Gagah

Inilah rumah gadang Datuk Sati Koto dari suku Koto Dalimo, Nagari/Desa Adat Supayang, Kecematan Salimpaung, Tanah Datar. Dipotret, Sabtu (2/9)  (givo)

Rahmat dan Givo

 

BATUSANGKAR-Nagari ini tersandar di kaki Marapi, gunung yang ditakuti sekaligus dikagumi itu. Namanya Supayang, Kecamatan Salimpaung, di Tanah Datar. Sebuah rumah gadang di sana baru selesai dibangun. Pada awalnya mulai dibuat 1910 dan selesai 1014 dengan tukang bernama Khatib dari Tungkar, waktu itu masih masuk Luhak nan Tuo. Banyak rumah gadang di sini, minimal sebanyak datuk, penghulu pemangku adat. Satu demi satu, seperti juga di nagari lain, mulai lapuk, lalu rubuh atau dirubuhkan sendiri.

Di antara puluhan rumah gadang yang bernasib malang itu ada dua milik kaum Datuk Sati dari suku Koto Dalimo. Satu di antaranya mulai dibangun kembali pada paruh 2018 dan selesai Februari 2019. Saat ini, pengerjaannya sudah mencapai 95 persen. Rumah tersebut diberi nama Rumah Gadang Kaum Datuak Sati direvitalisasi melalui bantuan pemerintah dengan program bernama revitalisasi desa adat 2018 dari Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Di halaman rumah gadang 5 ruang itu, di samping tangga sejumlah anak terlihat asyik bermain kelerang. Mereka memainkan permainan tradisional yang di kawasan tersebut diberi nama ‘tembak kapalo lopi’. Satu persatu bagian dalam rumah dilihat “Hampia samo, tapi labiah rancak iko lai. Dulu tingga,” seorang nenek menjawab Singgalang di halaman rumah gadang itu, Sabtu (9/2). Masih di halaman, sebuah rangkiang berdiri, di sebelahnya ada sebuah lasuang batu yang sudah dipakai sejak rumah gadang itu ada sebelum kemerdekaan.

Sementara di jalan depan rumah, ibu-ibu lewat dari sawah dan ladang. Ada yang baru kembali dari pencuran membawa air pada ember di kepalanya.

Di sisi lain, KH. A Datuak Sati, bersama warga sekitar dan berbincang. Sebuah papan lama yang tak terlalu jelas tulisannya menjadi perbincangan, hanya angka 1914. Bicara soal pembangunan, Datuak Sati bercerita, pembangun rumah gadang limo ruang tersebut memakan waktu selama enam bulan dengan luas banguna 7 x 15 meter persegi.

“Alhamdulillah sudah hampir selesai, tinggal perbaikan. Selama pembangunan sering terjadi hujan sehingga tukang hanya bekerja setengah hari. Untuk membuat gonjong dan memasang atap saja satu orang tukang dibayar hingga Rp200 ribu sehari karena berbahaya dan tak semua berani. Kita berharap rumah gadang ini akan menjadi tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan suku,” katanya.

Pantauan Singgalang, rumah gadang lima ruang tersebut memiliki satu pintu masuk, delapan jendela, empat kamar yang masing-masing satu jendela. Sementara untuk tiang dibagian dalam ada 4 pula dengan total keseluruhan tiang 20 buah.

“Akan diresmikan sebentar lagi, setelah pembangun ini selesai akan dibangun pula rumah gadang tigo ruang di lokasi berbeda, semoga ini akan memberikan manfaat dan mempersatukan anak kemenakan kami,” ungkapnya.

Revitalisai rumah adat itu menggunakan biaya APBN Tahun Anggaran 2018 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Revitalisasi Desa Adat (RDA) diberikan kepada desa adat yang memiliki kekuatan identitas budaya di wilayah Indonesia, salah satunya rumah adat Kaum Datuak Sati ini .

Bantuan Pemerintah RDA diberikan kepada desa adat yang digunakan untuk perbaikan sarana dan prasarana pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas mendukung desa adat dalam rangka pemajuan budidaya, sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Pemerintah Revitalisasi Desa Adat (RDA) Tahun 2019 yang dapat digunakan oleh calon penerima, agar dapat digunakan bantuan tersebut.

Menurut Walinagari Supayang, M. Nasir revitalisasi rumah gadang di nagarinya sangat mendesak. Ini penting, katanya, agar sendi budaya Minang jangan hilang begitu saja. Hal senada dikemukakan Ketua KAN Supayang. Surtaveri Dt Rajo Penghulu. Ia yakin, rumah gadang jika difungsikan dengan benar, akan bermanfaat sekali bagi pembangunan ABS-SBK.**