Secangkir Kopi di Pelataran Masjidil Haram

LAPORAN KHAIRUL JASMI DARI MEKKAH

“Kopi jika diseduh dengan hati, manisnya terasa sampai ke hati” (seorang penyair)

SEUSAI Asyar saya lapar-lapar tanggung. Kaki diayunkan menuju Hotel Hilton. Tak ke sana namun turun satu lantai ke depan pintu Bin Dawood Mall. Saya masuk sebuah kafe: Starbucks. Pesanannya roti turki, segelas kopi dan satu air mineral normal. Tak boleh dingin, jika diteguk dijamin batuk.

Di pelataran Masjidil Haram ini terasa nikmati menyeruput kopi, mungkin ini kopi sumatera sebagaimana saya menikmati hal serupa di San Francisco tempo hari.

Untuk tiga jenis pesanan itu saya terbayar 38 riyal atau Rp152 ribu. Maka saya nikmati roti hangat ini, terasa enak sekali dan kenyang bisa menyambung sampai Magrib.

Di Hilton tempat saudara-saudara sesama muslim menginap yang ONH plus. Saya jumpa jamaah dari Thailand Selatan. Ia bekerja di Johor Bahru, Malaysia. Ia tidur di Hilton. Dari hotel ini, sekejap saja mereka bisa ke masjid dan sebaliknya. Bisa tepat 5 waktu sehari semalam. Di seputaran Masjid Suci ini banyak hotel bintang 5. Di Zamzam Tower misalnya. Saya menginap di Hotel Alkiswah 1,3 Km jaraknya sampai ke pelataran masjid atau 1,6 Km sampai ke Ka’ bah. Naik taksi pergi kena 10 riyal, balik bisa 15 riyal. Naik angkot Innova ber-ac kena 2 riyal.

Sudah pukul 17.40 WAS sebentar lagi Magrib masuk. Saya harus berwudhuk dulu. Untuk ke sana harus turun pakai eskalator, agak jauh dan ramai. Saya berkemas, meneguk kopi terakhir melekatkan kacamata hitam dan melangkah pergi. Saat haji kacamata harus hitam guna menangkis sinar matahari. Magrib baru akan masuk pukul 7 malam. Jika saya tak berangkat sekarang, alamat takkan dapat tempat dalam masjid, sebab jamaah kian ramai datang dari berbagai bangsa.

Saya di depan pintu masjid paling populer, Babusalam. Berbelok ke kanan. Jika menyeberang saya akan sampai ke KFC di dekat Zamzam Tower. Saya hendak ke toilet. Turun lewat eskavator satu lantai. Toilet penuh, antre panjang, tempat berwuduk begitu juga. Saya lanjut turun selantai lagi dengan tangga bermesin itu. Agak sepi. Selesai dan naik lagi. Kini menuju pintu 74 dan wow sudah penuh.

Saya takok-takok manggih saja masuk ke arah kanan dan menusuk melangkah lewat sela-sela bahu jamaah. Sampai di depan sebuah tiang. Kosong, sebelah kiri saya seorang jamaah Indonesia entah dari mana. Sejak saya datang, Shalat Tahayatul Masjid, baca Alquran dan sekarang menulis, ia terus mengaji sambil memejamkan mata.

Masjid sudah mendengung oleh suara orang mengaji namun tak ada sefasih pemuda Arab sore kemarin. Ia mengaji di dekat saya dan Om King, bagai air mengalir saja. Habis ngaji ia salami dan saya balas. Adab diajarkan guru saya sehabis bersalam, maka bawalah tanganmu ke dada. Jarang saya seperti itu tapi di Masjidil Haram ini, iya.

Magrib 15 lagi. Ini Rabu (1/8), sudah lama juga kami di Saudi Arabia.
Lalu kenapa ada Starbucks di pelataran atau dekat Masjidil Haram. Entah. Wallahualam.

Jumat Berkah
Hari Jumat (3/8) sudah tiba. Jumat pertama saya lewati di Masjid Nabawi, kedua dan ketiga di Makkah. Jumat kemarin, sebagaimana saya wiridkan sejak 3 tahun lalu, meneruskan bacaan Alquran yang tergaing setelah khatam. Halamam demi halaman. Pada Jumat pekan lalu itu, saya shalat di depan Ka’bah di lantai dua. Ini disebabkan di dalam sudah penuh. Sehabis shalat sunat, ngaji. Beberapa ayat, sambung surah berikut. Tak tahunya surahh Al-Hajj. Ini saat berhaji, kini tiba-tiba surah haji pula. Ini berkah bagi saya. Tapi kenapa tak tahu, surat berikut Al Hajj? Karena saya ngaji di HP ada terjemahannya. Orang seperti saya mana pula hafal urutan nama-nama surah dalam Alquran.