Reformasi Sistem Akreditasi untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan

AKREDITASI - Kepala BAN-S/M Kemendikbudristek Toni Toharudin saat jadi pembicara dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang diiniasi Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan dan PT Paragon Technology and Innovation. (ist)
AKREDITASI - Kepala BAN-S/M Kemendikbudristek Toni Toharudin saat jadi pembicara dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang diiniasi Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan dan PT Paragon Technology and Innovation. (ist)

PADANG – Untuk peningkatan mutu pendidikan, reformasi sistem akreditasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Sebab refleksi 20 tahun akreditasi, korelasi perkembangan status akreditasi dan kualitas pendidikan lemah.

Hal itu dikatakan Kepala Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (BAN-S/M Kemendikbudristek) Dr Toni Toharudin saat jadi pembicara dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang diiniasi Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan dan PT Paragon Technology and Innovation diikuti 15 wartawan dari berbagai media di Indonesia, Jumat (8/10).

Dia mengatakan bahwa persentase sekolah dengan akreditasi A dan B, mengalami peningkatan di seluruh satuan pendidikan, mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, SMK, maupun madrasah.

Namun, peningkatan akreditasi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan hasil ujian nasional. Pun demikian dengan capaian PISA (the Programme for International Student Assessment). PISA adalah penilaian siswa skala besar dan internasional.

“Sehingga muncul pertanyaan terkait efektivitas proses akreditasi mendukung penjaminan mutu dan peningkatan kualitas pendidikan nasional,” ulasnya.

Selain itu, juga muncul pertanyaan terkait validitas instrumen akreditasi serta pertanyaan terkait kredibilitas sistem dan manajemen akreditasi sekolah dan madrasah.

Lulusan S3 University Groningen Belanda itu menjelaskan grafik hasil ujian nasional menunjukkan penurunan dari tahun 2015, meski di 2019 sedikit naik pasca pemberlakuan ujian tulis berbasis komputer (UTBK), namun masih relatif rendah.

Dari berbagai pertanyan itu, membuat BAN S/M melakukan evaluasi terkait review kajian-kajian empirik akreditasi dan kinerja sistem pendidikan.

“Selain itu, juga melakukan kajian pustaka, diskusi dengan berbagai nara sumber ahli, diskusi internal, analysis sistem dan instrumen serta benchmarking,” jelasnya.

BAN S/M katanya perlu melakukan reformasi manajemen agar akreditasi lebih efisien dan efektif, tanpa backlog.

“Kita perlu mengganti instrumen agar lebih fokus pada pengukuran kinerja sekolah, bukan sekedar administrasi. Sebab jika hanya administrasi, itu bisa disiapkan ketika akan dilakukan akreditasi,” lanjut alumni Universitas Padjadjaran tahun 1994 itu.

Dia menjelaskan, saat ini BAN S/M juga sudah menggunakan instrumen akreditasi dengan sistem basis performance. Dengan metode ini, pihaknya dapat melihat sekolah/madrasah dengan aspek-aspek atau indikator-indikator performance sekolah.

“Sebelumnya dengan basis complains setelah sertifikat akreditasi mau habis, sekolah akan aktif. Jadi terkesan hanya disiapkan secara instan. Dengan basis performance, setelah sekolah re-akreditasi, kembali akan terus berupaya meningkatkan kualitasnya,” tutur Toni. (benk)